Langsung ke konten utama

Biografi KH Bishri Syansuri (1886-1980 M)

KH Bishri Syansuri
(Sumber foto: nu.or.id)

Seorang mukmin sejati pasti percaya bahwa ada yang mengatur perjalanan hidup manusia, yaitu Dzat Yang Maha Berkehendak. Walaupun dalam batas-batas tertentu Dzat Yang Maha Agung itu juga memberikan kewenangan kepada manusia untuk menentukan jalan hidupnya sendiri. Begitupun, Bishri Syansuri kecil tentu tidak akan pernah menyangka jika pada akhirnya akan menjadi “orang“ di Denanyar Jombang, bahkan sampai menjadi Rais ‘Aam PBNU menggantikan kakak iparnya (KH Abdul Wahab Hasbullah) yang harus terlebih dahulu menghadap Allah SWT.

Beliau berkakak ipar dengan KH Abdul Wahab Hasbullah, Kiai Bisri juga berbesan dengan KH Hasyim Asy’ari, gurunya. KH Wahid Hasyim putra KH Hasyim Asy’ari, menikah dengan Hj. Solichah putri beliau dan dari merekalah lahir KH Abdurrahman Wahid, alias Gus Dur, yang kelak akan menjadi Presiden.

Lahir

Bishri Syansuri dilahirkan di Desa Tayu, Kabupaten Pati, Propinsi Jawa Tengah, tanggal 28 Dzulhijjah 1304 H / 18 September 1886. Ayahnya bernama Syansuri ibn Abd. Shamad dan ibunya bernama Mariah yang merupakan keluarga penganut tradisi keagamaan yang sangat kuat. Ia adalah anak ketiga dari lima bersaudara.

Wafat

Beliau meninggal di Kabupaten Jombang, Propinsi Jawa Timur tanggal 25 April 1980 pada umur 93 tahun dan dimakamkan di komplek Pesantren Denanyar (PP Mamba’ul Ma’arif Denanyar, Jombang).

Pendidikan Waktu Kecil

Pada usianya yang menginjak tujuh tahun, KH. Bishri Syansuri mulai belajar agama secara teratur. Pertama-tama beliau belajar membaca Al-Qur’an dan Tajwidnya kepada KH. Sholeh di Tayu selama lebih kurang tiga tahun. Selanjutnya di beberapa pesantren lokal, antara lain pada KH. Abdul Salam di Kajen, Jawa Tengah. Memasuki usai remaja, beliau melanjutkan pendidikan keagamaannya kepada KH. Kholil Harun Kasiangan Rembang, KH. Syua’ib Sarang Lasem. Selanjutnya perjalanannya menuju Jombang diawali ketika pada usia 15 tahun, KH. Bishri Syansuri mulai keluar kandang untuk nyantri kepada KH. Kholil Demangan Bangkalan Madura. Di sinilah Bisri Syansuri secara serius mendalami ilmu Fiqh yang dikemudian hari menjadi trade mark-nya, dan sekaligus bertemu dengan KH Abdul Wahab Hasbullah, washilah yang membawanya ke Jombang, nyantri kepada Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari selama enam tahun di PP Tebuireng Jombang, sebelum memperdalam ilmu di tanah suci Mekkah.

Pendidikan di Mekkah

Ia kemudian mendalami pendidikannya di Mekkah dan belajar ke pada sejumlah ulama terkemuka antara lain Syekh Muhammad Baqir, Syekh Muhammad Sa’id Al-Yamani, Syekh Umar Bajened, Syekh Muhammad Sholeh Bafadlol, Syekh Abdullah, Syekh Ibrahim Al-Madani, Syekh Jamal Maliki, Syekh Ahmad Khatib Padang, Syekh Syu’aib Doghestani, dan Kiai Mahfudz Termas. Ketika berada di Mekkah, Bisri Syansuri menikahi adik perempuan Abdul Wahab Chasbullah.

Sepulangnya dari Mekkah, dia menetap di pesantren mertuanya di Tambak Beras, Jombang, selama dua tahun. Ia kemudian berdiri sendiri dan pada 1917 mendirikan Pondok Pesantren PP Mamba’ul Ma’arif Denanyar, Jombang. Saat itu, Bisri Syansuri adalah kiai pertama yang mendirikan kelas khusus untuk santri-santri wanita di pesantren yang didirikannya. Pergerakan dan politik

Silsilah Keilmuan

Silsilah keilmuan beliau antara lain:

  • KH. Cholil Bangkalan
  • KH. Hasyim Asy’ari
  • Syekh Muhammad Baqir
  • Syekh Muhammad Sa’id Yamani
  • Syekh Ibrahim Madani
  • Syekh Jamal Maliki
  • Syekh Ahmad Khatib Padang
  • Syekh Syu’aib Daghistani
  • KH. Mahfudz At-Tarmasi

Keturunan

  • Solichah ibunda KH. Abdurrahman Wahid
  • KH. Mujib Shohib Bisri (cucu)

Dalam diri KH. Bishri Syansuri paling tidak melekat tiga karakter sekaligus. Yaitu sebagai perintis kesetaraan gender dalam pendidikan di pesantren, seorang ahli dan pecinta fiqh dan sekaligus seorang politisi

Perintis Kesetaraan Gender

Rasanya tidak berlebihan kalau Kyai Bishri Syansuri disebut sebagai pejuang kesetaraan gender, khususnya di kalangan pesantren. Kyai Bishrilah orang pertama yang mendirikan kelas khusus untuk santri-santri wanita di pesantren yang didirikannya. Walalupun baru diikuti perempuan-perempuan di desanya.

Di zaman yang masih kental dengan nilai-nilai patrimonial waktu itu, apa yang dilakukan Kyai Bisri termasuk kategori “aneh“. Untung sang guru yang sangat dihormatinya, hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari tidak menentang terobosan yang dilakukannya. Kalau saja hadratussyaikh melarang, niscaya Kyai Bishri Syansuri tidak akan melanjutkan langkah fenomenal yang telah dibuatnya. Hal ini semata-mata karena takdzimnya yang begitu mendalam kepada sang guru yang selalu dipanggilnya “kyai“.

Ahli dan Pecinta Fiqh

Karakter sebagai pecinta Fiqh terbentuk ketika Kyai Bishri nyantri kepada KH. Kholil Bangkalan, dan semakin menguat setelah nyantri di Tebuireng. Kyai Bishri memang sengaja mendalami pokok-pokok pengambilan hukum agama dalam fiqh, terutama literatur fiqh lama. Tidak mengherankan jika Kyai Bisri begitu kukuh dalam memegangi kaidah-kaidah hukum fiqh, dan begitu teguh dalam mengkontekstualisasikan fiqh kepada kenyataan-kenyataan hidup secara baik. Walaupun begitu, Kyai Bishri tidak kaku dan kolot dalam berinteraksi dengan masyarakat. Hal itu setidaknya terlihat dari upayanya dalam merintis pesantren yang dibangunnya di Denanyar.

Politisi Tangguh

Persinggungannya dengan politik praktis diawali ketika bergabung dengan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) mewakili Masyumi, menjadi anggota Dewan Konstituante dan puncaknya ketika dipercaya menjadi Ketua Majelis Syuro PPP ketika NU secara formal tergabung dalam partai berlambang ka’bah itu. Salah satu prestasi yang paling mengesankan, ketika Kyai Bishri Syansuri berhasil mendesakkan disyahkannya UU perkawinan hasil rancangannya bersama-sama ulama NU. Padahal sebelumnya pemerintah sudah membuat rancangan undang-undang perkawinan ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Hasil pemilu 1955 mengantarkan dirinya menjadi anggota Konstituante, sampai lembaga itu dibubarkan oleh Presiden Soekarno lewat dekrit Presiden 5 Juli 1959. hasil Pemilu 1971 mengantarkan Kiai Bisri kembali duduk sebagai anggota DPR RI dari unsur NU. Jabatan itu dipegangnya sampai beliau wafat.

Masa Perjuangan

Pada masa perjuangan kemerdekaan, ia bergabung ke dalam barisan Sabilillah dan menjabat sebagai Kepala Staf Markas Besar Oelama Djawa Timoer (MBO-DT) yang kantornya di belakang pabrik paku Waru, Sidoarjo.

Pendirian NU

Ia termasuk salah seorang Kiai yang hadir dalam pertemuan 31 Januari 1926 di Surabaya, saat para ulama menyepakati berdirinya organisasi NU. Kiai Bisri duduk sebagai A’wan (anggota) Syuriah dalam susunan PBNU pertama kali itu.

Sejak KH Hasyim Asy’ari wafat pada tahun 1947, jabatan Rais Akbar dihapuskan, diganti dengan Rais ‘Aam. Posisi itu dijabat oleh KH. Abdul Wahab Hasbullah, di mana K.H. Bisri Syansuri ditetapkan sebagai wakilnya. Tahun 1971 ia menggantikan KH. Abdul Wahab Hasbullah sebagai Rais ‘Aam sampai akhir hayatnya.

Komite Hijaz

Walaupun Komite Khilafah bubar dengan sendirinya, karena gagalnya upaya penyelenggaraan muktamar di Mekkah itu, perasaan kecewa Kiai Abdul Wahab atas begitu sedikit perhatian kawan-kawannya ‘sekomite’ atas hal yang dianggapnya penting, jelas mempengaruhi sikapnya. Ia mengambil prakarsa mendirikan apa yang kemudian dinamai ‘Komite Hijaz’ guna mencari dukungan atas apa yang dianggapnya penting itu dengan tujuan utama mengirimkan sebuah delegasi ke Saudi Arabia untuk memperjuangkan pendirian itu kepada raja Abdul Aziz ibn Sa’ud. Upaya mengumpulkan dukungan para kiai pesantren itu melibatkan iparnya, Kiai Bisri, dengan mereka berdua menanggung beban tugas berkeliling pulau Jawa, menghubungi kiai-kiai dari Banyuwangi di ujung timur hingga ke Menes di ujung barat.

Semula, gagasan membentuk sebuah komite seperti itu tidak memperoleh restu dari guru mereka, Kiai Hasyim Tebuireng. Setelah berbulan-bulan mengajukan argumentasi, mungkin juga melalui jasa-jasa baik sejumlah kiai lain yang lebih tua dari Kiai Hasyim Asy’ari, akhirnya izin diberikan. Di sini tampak lagi sikap baru Kiai Bisri dalam mengambil keputusan. Ia tidak hanya puas menerima jawaban sekali, melainkan terus berusaha berkali-kali hingga pada akhirnya perkenan diperoleh dari sang guru. Kemauan keras untuk berusaha berkali-kali itu, hingga pihak yang diajak berdialog mau mengerti apa yang diingininya, juga diperlihatkan oleh kawan baiknya, Kiai Ma’sum Ali yang juga adalah menantu Kiai Hasyim. Kiai Ma’sum sudah sejak tahun 1919 mengajukan usul mendirikan sistim sekolah di pesantren Tebuireng, tetapi baru setelah empat tahun lamanya mengajukan permintaan berulang kali percobaan tersebut diizinkan. Mungkin dalam proses itu Kiai Ma’sum Ali terpengaruh dan belajar dari Kiai Bisri yang secara tekun sudah membuka kelas putri di pesantren Denanyar. Ketekunan Kiai Ma’sum untuk mengajukan kembali permintaannya berulang kali itu juga kemungkinan besar menjadi contoh Kiai Bisri dan Kiai Abdul Wahab, untuk ‘menyelesaikan’ kerja membuat Komite Hijaz.

Seperti Komite Khilafah sebelumnya, komite ini tidak jadi mengirimkan delegasi ke Saudi Arabia. Telegram yang mereka kirimkan kepada raja Abdul Aziz ibn Sa’ud, yang memohon agar ada kemerdekaan menjalankan peribadatan haji menurut cara masing-masing, menerima balasan positif dari raja baru itu. Dengan sendirinya lalu tidak ada keperluan lagi untuk mengirimkan delegasi ke tanah suci Mekkah dan ibukota Saudi Arabia Riyad. Hasil itu dikomunikasikan kepada sejumlah ulama Jawa Timur dan laporan disampaikan kepada sejumlah ulama Jawa Timur dan laporan disampaikan kepada Kiai Hasyim Asy’ari di Tebuireng, Jombang. Menanggapi pernyataan Kiai Abdul Wahab dan Kiai Bisri bahwa komite mereka itu akan dibubarkan, karena telah menyelesaikan tugas dengan baik, Kiai Hasyim Asy’ari justeru menyayangkan kalau upaya organisatoris untuk menyatukan pendapat dan mengatur langkah bersama itu dihentikan. Mengapa justeru Kiai Abdul Wahab tidak meneruskan saja usaha itu ke dalam sebuah ‘perkumpulan’ yang lebih bersifat permanen?

Dialog yang terjadi dalam tahun 1925 itu akhirnya melahirkan upaya mendirikan Jam’iyah Nahdlatul ‘Ulama’, setahun kemudian. Cerita Kiai Bisri lima puluhan tahun kemudian, tentang berdirinya or-ganisasi tersebut, sangatlah menarik untuk diikuti. Kiai Bisri menggambarkan proses itu, kalau kita simpulkan dari untaian episode bermacam-macam, sebagai kebutuhan yang muncul dari kalangan kiai pesantren untuk menyalurkan upaya mencari kebersamaan dalam pandangan kemasyarakatan mereka, daripada upaya reaktif terhadap gerakan lain yang telah ada. Bahkan usul pertama untuk membentuk Komite Hijaz justeru ditolak Kiai Hasyim Asy’ari, karena akan menyamai usaha gerakan lain, karena dalam pandangannya kiai-kiai pesantren akan menyimpang dari jalan benar yang mereka tempuh selama ini, kalau mengikuti apa yang telah dirintis orang lain untuk tujuan mereka sendiri. Karena itulah sejak semula hanya tujuan memperjuangkan hak melakukan peribadatan menurut ‘cara lama’ kepada pemerintahan baru di Saudi Arabia saja yang mewarnai Komite tersebut. Baru setelah tampak hasil positif itulah dirasakan kebutuhan untuk mengorganisir diri secara lebih menetap, sudah tentu meningkatkan effektivitas kerja di kalangan sendiri.

Kiai Bisri, ternyata menempatkan diri (ataukah justeru ditempatkan?) dalam kedudukan pendamping lebih muda (junior partner) bagi pribadi Kiai Abdul Wahab yang dinamis, sekaligus menjadi penghubung antara iparnya itu dan Kiai Hasyim Asy’ari. Kedudukan ini ternyata, umpamanya, dalam tugas menjemput Hadratus Syaikh itu dari Tebuireng untuk dibawa ke Surabaya dalam peresmian berdirinya Nahdlatul-Ulama. Ternyata, walaupun para ulama telah berkumpul di Surabaya dan berdatangan dari seluruh daerah di pulau Jawa dan ada yang dari Kalimantan Selatan, Kiai Hasyim yang tinggal hanya 90 kilometer dari kota tersebut belum juga tampak. Apapun sebabnya, entah karena masih ada sedikit sisa keraguan ataupun karena sebab lainnya, tidak datangnya guru dari banyak tokoh yang hadir itu dapat menggagalkan rencana peresmian Nahdlatul ‘Ulama’. Kiai Bisri adalah orang yang diminta untuk menjemput Kiai Hasyim, berangkat selepas senja dan baru keesokan siangnya kembali dengan membawa sang guru yang ditunggu-tunggu orang banyak itu, dengan penugasan yang kemungkinan besar ditetapkan atau diusulkan oleh Kiai Abdul Wahab. Terlihat di sini, bahwa penunjukan orang yang dianggap paling mungkin meyakinkan Kiai Hasyim Asy’ari, jika memang masih merasa ragu-ragu, jatuh kepada Kiai Bisri. Kenyataan itu menunjukkan dengan jelas fungsi penghubung yang dipegangnya antara Kiai Hasyim dan Kiai Abdul Wahab, kalau juga tidak dengan para kiai lain yang mengambil prakarsa mendirikan Nahdlatul Ulama, setelah gagasan un-tuk itu sendiri semula juga datang dari Hadratus Syaikh sendiri.

Dalam hal ini, peranan sebagai orang tempat menaruh keper-cayaan tampak jelas dipegang Kiai Bisri. Antara lain, ketundukannya yang begitu mutlak kepada sang guru memberikan jaminan akan bersihnya sesuatu hal yang digarap dari kemungkinan penyimpangan, walau segaris tipispun, dari kehendak semula yang dinyatakan Kiai Hasyim sendiri. Di samping itu, keterlibatannya yang penuh kalau telah menyatakan kesedihan, merupakan jaminan penuh bagi yang lain-lain akan keteguhan pendirian Kiai Bisri untuk mempertahankan eksistensi organisasi baru itu, jika masih dimungkinkan perubahan sikap di pihak sang guru mungkin sebagai hasil pertimbangan dari pihak lain.

Segera setelah terbentuknya organisasi tersebut, dengan Kiai Bisri duduk sebagai A’wan (Pembantu) dalam susunan Pengurus Besar (Hoofdbestuur) nya. Pola kehidupan Kiai Bisri lalu segera mengalami perubahan total dari masa sebelumnya. Di tingkat lokal, ia lalu harus memotori perkembangan Nahdlatul Ulama di daerah kediamannya, Jombang. Di samping itu, ia menjadi penghubung antara pelaksana kegiatan sehari-hari kepengurusan pusat di Surabaya dan Kiai Hasyim yang dalam muktamar pertama Nahdlatul Ulama itu telah ditetapkan sebagai Ra’is Akbar. Di pihak lain, ia harus melakukan banyak hal di luar daerah Jombang untuk kepentingan Nahdlatul Ulama, antara lain menjadi penghubung antara Pengurus Besar dan para tokoh organisasi di daerah pantai utara Jawa Tengah, yang menjadi daerah asal-usul kelahirannya.

Pendirian Pesantren Den Anyar

Beliau adalah pendiri Pondok Pesantren PP Mamba’ul Ma’arif Denanyar, Jombang dan terkenal atas penguasaannya di bidang fikih agama Islam.

Memperingatkan Bung Hatta

Pada suatu Jum’at, KH. Bishri Syansuri melaksanakan shalat di masjid Mataraman Jakarta. Di masjid ini pula Bung Hatta istiqamah melaksanakan shalat. Pada saat itulah Mbah Bishri melihat Bung Hatta sedang shalat dan saat bersujud dahinya masih tertutup oleh peci hitamnya. Seusai Bung Hatta shalat, Mbah Bishri dengan ramah memperkenalkan diri, sekaligus dengan lembut mengingatkan Bung Hatta jika dalam shalat, dahi tidak boleh tertutup oleh peci. Setelah itu setiap kali Bung Hatta memasuki masjid pecinya langsung didongakkan ke belakang sehingga tidak menutupi dahi ketika melangsungkan sujud.

Referensi:

  • “KH Bisri Syansuri, Pecinta Hukum Fiqh sepanjang Hayat”, KH Abdurahman Wahid, Majalah Amanah, 1989
  • “Almaghfurlah KH. M. Bishri Syansuri: Cita-Cita dan Pengabdiannya”, karya KH. A. Aziz Masyhuri, hlm. 54-55 seperti yang ditulis KBGD

 

Artikel lainnya: Biografi KH Zaini Mun'im

 

Postingan populer dari blog ini

Haji Mabrur

  Tiada imbalan bagi orang yang berhaji dengan mabrur selain surga, begitulah hadits Nabi Muhammad SAW yang sangat populer. Mabrur itu artinya baik. Kebalikan dari haji mabrur ialah haji mardud. Mardud artinya tertolak. Sebagaimana kaidah ibadah umum lainnya, baik di sini maksudnya diniati, dilaksanakan dan ditindaklanjuti sesuai dengan fitrah manusia: adil dan atau tidak dzalim, ihsan dan atau nasihah, simahah dan atau zakah. Tiga prinsip yang diperintahkan Allah ini hampir selalu dibacakan setiap akhir khotbah Jum’at. Di sisi lain, di dunia pesantren dikenal luas kaidah bahwa setiap ibadah tak terkecuali haji selalu membutuhkan ilmu dan amal sebelum, ketika dan sesudahnya.   Mengenai adil dan atau tidak dzalim, secara global diartikan dengan tidak merugikan/menjahati/merampas hak-hak orang lain. Hasil korupsi yang dipakai untuk biaya haji misalnya, tak mungkin menghasilkan haji mabrur. Menyakiti dengan kata-kata dan atau tindakan ketika melaksanakan ibadah haji umpamanya, menandai ba

Jangan Nasehati Orang Bodoh

  Menarik seperti apa yang dikatakan Khalifah Ali bi Abi Thalib :     “Janganlah menasehati orang yang bodoh karena  dia akan membencimu. Nasehatilah orang yang berakal karena dia akan mencintaimu” Kata kata bijak yang disampaikan oleh Khalifah Ali ini perlu kita pahami agar tahu sebutan bodoh orang itu seperti apa. Bodoh dalam hal ini lekat dengan pengertian jahilun, bukan dalam artian kemampuan akademis seseorang yang minim sehingga disebut bodoh. Makna bodoh atau jahilun Jahilun atau bodoh lebih mengacu kepada orang yang selalu benar sendiri dan tidak mau menerima kebenaran yang ada dalam Al Quran maupun Assunah. Karenanya kala menasehati orang yang paling benar bukan simpati yang didapat melah sebaliknya dia akan tersinggung dan malah menyerang. Banyaknya orang bodoh saat ini adalah penyebab kisruh dan pertikaian umat manusia saat ini, menganggap dunia itu kekal selalu tidak puas dengan apa yang didapatnya hingga yang paling parah hilangnya keimanan mereka. Kebodohannya lebih cende

Riwayat dari KH Badrus Salam

  Lahir di Desa Tempursari, Kecamatan Klaten, Solo Jateng, pada Tahun 1906. Wafat Sabtu, 9 Muharram 1394 H (2 Februari 1974). Dimakamkan di Pemakaman Umum Kasin, Malang. Pendidikan Ponpes Jamsaren, Solo. Putra/Putri 7 Orang Perjuangan/Pengabdian : Guru Madrasah Muallimin, Jagalan, Mengajar di beberapa masjid, termasuk di Masjid Agung Jami’ Malang, menjadi Imam Rowatib, dan Pengurus Takmir Masjid Agung Jami’ Malang, menjadi Syuriyah NU Cabang Malang. Kiai yang Menjadi Khodimul Ummah “Dan tidaklah Aku jadikan jin dan manusia, melainkan hanya untuk mengabdikan diri kepada-Ku.” Salah satu ayat dalam Al Qur’an surat Addariyat ayat 56 itulah yang menjadi pedoman dasar KH. Badrus Salam. Karenanya, tidaklah heran jika kemudian segala aktivitas hidup beliau lebih banyak dicurahkan untuk mengabdi kepada Allah SWT, dan menjadi khodimul ummah (melayani kepentingan umat). Prinsipnya, segala aktivitas hidup itu harus diniati untuk beribadah, tanpa pamrih atau mengharapkan sesuatu dar