Tiada imbalan bagi orang yang berhaji dengan mabrur selain surga, begitulah hadits Nabi Muhammad SAW yang sangat populer. Mabrur itu artinya baik. Kebalikan dari haji mabrur ialah haji mardud. Mardud artinya tertolak. Sebagaimana kaidah ibadah umum lainnya, baik di sini maksudnya diniati, dilaksanakan dan ditindaklanjuti sesuai dengan fitrah manusia: adil dan atau tidak dzalim, ihsan dan atau nasihah, simahah dan atau zakah. Tiga prinsip yang diperintahkan Allah ini hampir selalu dibacakan setiap akhir khotbah Jum’at. Di sisi lain, di dunia pesantren dikenal luas kaidah bahwa setiap ibadah tak terkecuali haji selalu membutuhkan ilmu dan amal sebelum, ketika dan sesudahnya.
Mengenai adil dan atau tidak dzalim, secara global diartikan dengan tidak merugikan/menjahati/merampas hak-hak orang lain. Hasil korupsi yang dipakai untuk biaya haji misalnya, tak mungkin menghasilkan haji mabrur. Menyakiti dengan kata-kata dan atau tindakan ketika melaksanakan ibadah haji umpamanya, menandai batalnya kemabruran. Menuntut penghormatan lebih setelah pulang dari tanah suci contohnya, menunjukkan gagalnya kemabruran.
Berangkat haji berkali-kali yang menyebabkan hak orang lain untuk berhaji terganggu dan kepadatan berlebihan di tanah suci yang mengurangi rasa nyaman, adalah contoh nyata kedzaliman yang banyak terjadi. Mengenai hal ini usulan agar orang Indonesia cukup haji sekali seumur hidup, perlu dipertimbangkan. Pendek kata, mulai dari persiapan, pelaksanaan dan pasca ibadah haji, semestinya semua memenuhi prinsip adil dan atau tidak dzalim. Biaya yang digunakan harus halal, selama ibadah haji harus senang mengalah dan mendahulukan kepentingan orang lain, dan setelah pulang ke rumah semakin manusiawi: tambah rendah hati, tepo seliro, empati dan murah hati.
Adapun mengenai ihsan dan atau nasihah berarti senantiasa menghendaki kebaikan bukan hanya untuk diri sendiri melainkan bagi semua makhluk Tuhan. Nabi Muhammad SAW lebih-kurang telah bersabda, bahwa agama itu nasihah (nasehat), maksudnya menginginkan kebaikan bagi semua makhluk Tuhan dilandasi keimanan kepada-Nya, sesuai dengan yang diteladankan Rasul-Nya. Nasihah atau nasehat di sini bukan sekadar dengan kata-kata namun yang lebih penting justru dengan tindakan nyata.
Maka, seorang haji mabrur sejak sebelum berangkat sampai pulang kembali ke tanah air telah bertekad untuk selalu berpikiran, berkata dan berbuat demi kebaikan seluruh makhluk-Nya tanpa pamrih, pantang mundur, tak mengharap pujian sekaligus tak kecut diberondong kecaman. Sedangkan mengenai simahah dan atau zakah, artinya seorang haji mabrur senantiasa berusaha membersihkan hatinya dari egoisme dengan berkorban bagi makhluk Tuhan yang lainnya. Hanya dengan mengembangkan altruisme semata manusia dapat membersihkan hatinya dari egoisme yang membahayakan diri dan makhluk Tuhan yang lainnya.
Allah pun telah memerintahkan agar para calon jama’ah haji berbekal: wa tazawwaduu fa inna khoiraz zadi at-taqwa (berbekallah kalian, maka sungguh sebaik-baik bekal itu adalah taqwa). Kata “taqwa” di sini (dalam berbagai Kitab Tafsir mulai dari Kitab Jalalain karya Syeikh Jalaluddin As Suyuti dan Syeikh Jalaluddin Al Mahalli dengan sudut pandang utama bahasa yang telah jadi klasik di kalangan umat Islam hingga kitab yang agak modern seperti Kitab Maroh Labid karya Syeikh Nawawi Al Bantani) dimaknai dengan “takut merepotkan orang lain”. Dengan kata lain, “taqwa” di sini diartikan sebagai sikap tidak bergantung kepada sesama, beserta kesiapan dan kesediaan menolong dan menyantuni segenap makhluk-Nya.
Dalam kaca mata tasawuf, hanya keikhlasan saja yang membuka peluang seseorang memperoleh derajat haji mabrur. Keikhlasan, kemurnian motif semata-mata karena Allah dan Rasul-Nya, tidak akan terjadi bila hati seseorang masih dipenuhi berbagai penyakit yang mengotorinya: riya’ (suka pamer), ujub/narsistis, takabur/sombong, iri, dendam, ambisius, tamak, pelit, munafik, kejam, benci, dan sifat-sifat buruk lainnya. Mengenai hal ini, karya agung Imam Al Ghazali Ihya Ulumuddin adalah rujukan paling menakjubkan yang menjelaskannya. Keikhlasan inilah yang membuahkan rasa cinta-kasih kepada sesama, sebagai tujuan diutusnya Rasul sesuai dengan firman Tuhan: tidak Kuutus dirimu kecuali sebagai cinta-kasih bagi semesta alam.
Secara kongkrit, salah satu contoh haji mabrur yang me-legenda dan diabadikan dalam kitab-kitab kuning karya ulama-ulama tepercaya ialah kemabruran seorang penjahit yang bernama Muwaffaq. Syekh Zainuddin Al Malibari dalam kitab Irsyadul ‘Ibad menuliskan kurang lebih sebagai berikut: “Setelah sepuluh tahun mengumpulkan bekal, pada malam hari menjelang keberangkatan haji, tanpa sengaja Muwaffaq melewati rumah seorang janda dengan beberapa anak-yatimnya yang merengek-rengek kelaparan. Digerakkan kekuatan Yang Maha Menggerakkan, spontan Muwaffaq menyerahkan seluruh bekal hajinya kepada mereka. Ringkas kata, selesai musim haji, beberapa waliyullah mengabarkan, bahwa satu-satunya jamaah haji yang memperoleh derajat mabrur dari Allah justru adalah Muwaffaq, yang pada kenyataannya tidak jadi pergi ke tanah suci. Lebih dahsyat lagi, karena berkah kemabruran Muwaffaq, seluruh jamaah haji pada tahun tersebut ditetapkan mabrur pula oleh Tuhan.”
Jadi, bila kita telah pulang dari tanah suci, kemabruran haji kita dapat ditinjau sendiri-sendiri. Kalau kita masih dengan bangga dan apalagi memperalat gelar “Pak Haji-Ibu Hajjah”, meremehkan sesama, merampas hak-hak orang lain, menipu rakyat, menindas bawahan, menjarah kekayaan alam, mencemari lingkungan, mengadu-domba anak bangsa, menebar kebencian, mementingkan diri dan keluarga ketimbang segenap anak bangsa dan sebagainya, kita harus siap-siap safari ke neraka, na’udzubillah. Walloohu a’lam.
(K.H. Muhammad Fuad Riyadi)