Langsung ke konten utama

Antara Berjamaah dan Sendirian

 

shalat berjamaah

Sholat jama’ah itu lebih utama 27 derajat dibanding sholat sendiri, keutamaan sholat sunat di rumah (tidak berjamaah) dibandingkan sholat sunat di masjid sama dengan keutamaan sholat jamaah, begitu kira-kira Nabi Muhammad SAW telah bersabda. Dalam riwayat lain, sabda beliau: sholat jama’ah lebih utama 25 derajat daripada sholat sendiri. Jadi, 25 atau 27 derajat keutamaannya sesuai dengan kesungguh-sungguhannya, dan hanya Allah sajalah yang berhak menentukan.
 
Sebagaimana dicontohkan Nabi SAW dan dijelaskan para ulama dalam berbagai kitab (lebih-lebih kitab kuning), keutamaan sholat berjamaah itu berlaku untuk sholat wajib (sholat fardlu 5 waktu), ketika tidak sedang bepergian jauh. Bila sedang jadi musafir (bepergian jauh) sebagian ulama mengatakan, sholat wajib tidak harus berjamaah. Sepanjang hidup, Nabi SAW selalu berjamaah ketika sholat wajib. Adapun dalam sholat sunat, secara umum justru derajat (pahalanya) lebih tinggi kalau dilakukan sendiri (tanpa berjama’ah). Beliau SAW malah sering menggunakan istilah “nafilah” yang artinya “sendiri” untuk menyebut sholat sunat.
 
Meskipun secara umum sholat sunat itu lebih utama dikerjakan sendiri, ada beberapa jenis sholat sunat yang lebih utama dikerjakan secara berjamaah, yakni: sholat Id (hari raya Idul Fitri dan Adha), sholat gerhana bulan/matahari, sholat Istisqo (sholat mohon hujan), sholat jenazah, dan beberapa ulama menambahkan: sholat tarawih dan dhuha. Gampangnya, sholat sunat yang disertai khotbah sebagai rangkaiannya, lebih utama dikerjakan secara berjamaah. Bolehkah sholat Id atau sholat gerhana sendiri? Sebagian ulama terpercaya mengatakan boleh, tetapi tidak usah memakai khotbah.
 
Mengenai solat tahajud, 4 sahabat yakni Abu Bakar r.a, Umar r.a, Usman r.a, Ali k.w sebagaimana diungkapkan dalam hadits yang sudah populer, masing-masing mengerjakan di sudut-sudut masjid yang berbeda (maksudnya, mereka mengerjakan sendiri-sendiri, tidak berjamaah) ketika Nabi SAW memperhatikan dan memuji kekhusyukan mereka masing-masing. Yang lebih menegaskan hal tersebut ialah sabda Beliau SAW yang kurang lebih artinya sebagai berikut: “Ringankanlah ketika kalian jadi imam sholat, karena diantara makmum mungkin ada yang sudah tua dan lemah, serta panjangkanlah (maksudnya: buatlah lama) ketika kalian sholat sunat”
 
Demikianlah, sholat sunat itu memang bisa dibilang “kemewahan pribadi” yang terasa makin “mewah” tatkala dikerjakan sendiri, diamdiam, tak banyak orang yang mengetahui. Bahkan para wali yang senantiasa hati-hati, merasa sedih dan tidak “mereken” ibadah sunat yang mereka kerjakan manakala diketahui orang lain. Memang, secara umum, semua ibadah yang sifatnya wajib seperti zakat, puasa Ramadhan, haji yang pertama, pelunasan nadzar atau hutang, dll itu letak keutamaannya justru ketika pelaksanaannya diketahui banyak orang (untuk tujuan memotivasi orang lain agar turut mengerjakan).
 
Adapun semua ibadah sunah seperti puasa sunah, sodaqoh, infak, haji yang kedua, termasuk juga sholat sunah, letak keutamaannya dalam mengerjakan justru ketika semakin sedikit orang yang melihat/ mengetahuinya. Dalam Al Qur’an ada kalimat: fis sirri wa ‘alaaniyyah, secara diam-diam (sirri) bila mengerjakan kesunatan, secara terangterangan (‘alaaniyyah) bila mengerjakan kewajiban. Bahwa di sana-sini ada perkecualian seperti dituliskan di atas, tentu saja. Walloohu a’lam.


(K.H. Muhammad Fuad Riyadi)

Postingan populer dari blog ini

Haji Mabrur

  Tiada imbalan bagi orang yang berhaji dengan mabrur selain surga, begitulah hadits Nabi Muhammad SAW yang sangat populer. Mabrur itu artinya baik. Kebalikan dari haji mabrur ialah haji mardud. Mardud artinya tertolak. Sebagaimana kaidah ibadah umum lainnya, baik di sini maksudnya diniati, dilaksanakan dan ditindaklanjuti sesuai dengan fitrah manusia: adil dan atau tidak dzalim, ihsan dan atau nasihah, simahah dan atau zakah. Tiga prinsip yang diperintahkan Allah ini hampir selalu dibacakan setiap akhir khotbah Jum’at. Di sisi lain, di dunia pesantren dikenal luas kaidah bahwa setiap ibadah tak terkecuali haji selalu membutuhkan ilmu dan amal sebelum, ketika dan sesudahnya.   Mengenai adil dan atau tidak dzalim, secara global diartikan dengan tidak merugikan/menjahati/merampas hak-hak orang lain. Hasil korupsi yang dipakai untuk biaya haji misalnya, tak mungkin menghasilkan haji mabrur. Menyakiti dengan kata-kata dan atau tindakan ketika melaksanakan ibadah haji umpamanya, menandai ba

Jangan Nasehati Orang Bodoh

  Menarik seperti apa yang dikatakan Khalifah Ali bi Abi Thalib :     “Janganlah menasehati orang yang bodoh karena  dia akan membencimu. Nasehatilah orang yang berakal karena dia akan mencintaimu” Kata kata bijak yang disampaikan oleh Khalifah Ali ini perlu kita pahami agar tahu sebutan bodoh orang itu seperti apa. Bodoh dalam hal ini lekat dengan pengertian jahilun, bukan dalam artian kemampuan akademis seseorang yang minim sehingga disebut bodoh. Makna bodoh atau jahilun Jahilun atau bodoh lebih mengacu kepada orang yang selalu benar sendiri dan tidak mau menerima kebenaran yang ada dalam Al Quran maupun Assunah. Karenanya kala menasehati orang yang paling benar bukan simpati yang didapat melah sebaliknya dia akan tersinggung dan malah menyerang. Banyaknya orang bodoh saat ini adalah penyebab kisruh dan pertikaian umat manusia saat ini, menganggap dunia itu kekal selalu tidak puas dengan apa yang didapatnya hingga yang paling parah hilangnya keimanan mereka. Kebodohannya lebih cende

Biografi KH Bishri Syansuri (1886-1980 M)

(Sumber foto: nu.or.id) Seorang mukmin sejati pasti percaya bahwa ada yang mengatur perjalanan hidup manusia, yaitu Dzat Yang Maha Berkehendak. Walaupun dalam batas-batas tertentu Dzat Yang Maha Agung itu juga memberikan kewenangan kepada manusia untuk menentukan jalan hidupnya sendiri. Begitupun, Bishri Syansuri kecil tentu tidak akan pernah menyangka jika pada akhirnya akan menjadi “orang“ di Denanyar Jombang, bahkan sampai menjadi Rais ‘Aam PBNU menggantikan kakak iparnya (KH Abdul Wahab Hasbullah) yang harus terlebih dahulu menghadap Allah SWT. Beliau berkakak ipar dengan KH Abdul Wahab Hasbullah, Kiai Bisri juga berbesan dengan KH Hasyim Asy’ari, gurunya. KH Wahid Hasyim putra KH Hasyim Asy’ari, menikah dengan Hj. Solichah putri beliau dan dari merekalah lahir KH Abdurrahman Wahid, alias Gus Dur, yang kelak akan menjadi Presiden. Lahir Bishri Syansuri dilahirkan di Desa Tayu, Kabupaten Pati, Propinsi Jawa Tengah, tanggal 28 Dzulhijjah 1304 H / 18 September 1886. Ayah