Langsung ke konten utama

Riwayat dari KH Badrus Salam

 

Lahir di Desa Tempursari, Kecamatan Klaten, Solo Jateng, pada Tahun 1906. Wafat Sabtu, 9 Muharram 1394 H (2 Februari 1974). Dimakamkan di Pemakaman Umum Kasin, Malang. Pendidikan Ponpes Jamsaren, Solo. Putra/Putri 7 Orang

Perjuangan/Pengabdian : Guru Madrasah Muallimin, Jagalan, Mengajar di beberapa masjid, termasuk di Masjid Agung Jami’ Malang, menjadi Imam Rowatib, dan Pengurus Takmir Masjid Agung Jami’ Malang, menjadi Syuriyah NU Cabang Malang.

Kiai yang Menjadi Khodimul Ummah

“Dan tidaklah Aku jadikan jin dan manusia, melainkan hanya untuk mengabdikan diri kepada-Ku.” Salah satu ayat dalam Al Qur’an surat Addariyat ayat 56 itulah yang menjadi pedoman dasar KH. Badrus Salam. Karenanya, tidaklah heran jika kemudian segala aktivitas hidup beliau lebih banyak dicurahkan untuk mengabdi kepada Allah SWT, dan menjadi khodimul ummah (melayani kepentingan umat). Prinsipnya, segala aktivitas hidup itu harus diniati untuk beribadah, tanpa pamrih atau mengharapkan sesuatu dari manusia. “Orang hidup itu untuk beribadah, kata KH Badrus Salam, kala itu.

Kiai low profile, yang berpenampilan kalem ini dilahirkan pada tahun 1906 di Desa Tempursari, Kecamatan Klaten, Solo Jateng. Beliau putra sulung dari tiga bersaudara. Pendidikan Kiai Badrus Salam sejak kecil lebih banyak diasuh oleh H Muhsin, ayahnya, dan kemudian nyantri di Ponpes Jamsaren, Solo.

Keluarga Kiai Badrus, termasuk orang yang mentaati hasil keputusan pertemuan Kiai se Jawa, yang waktu itu melawan politik penjajahan Belanda, hingga terjadinya perang Diponegoro sekitar tahun 1918-1925. Pada pertemuan itu, para Kiai se Jawa memberi fatwa agar umat Islam harus membentengi diri dari pengaruh politik Belanda, hingga umat Islam harus mengisolir diri ke desa-desa. Bahkan, para kiai mengharamkan segala sesuatu yang berbau Belanda. Seperti memakai celana, sepatu, berdasi, makan menggunakan sendok dan garpu, termasuk sekolah umum, kata KH Abdullah Iskandar, santri Kiai Badrus Salam di Madrasah Muallimin, Jagalan yang mendampingi sejak tahun 1941 hingga menjelang beliau wafat.

Dengan mematuhi fatwa para kiai itulah, Kiai Badrus akhirnya lebih menekuni belajar ilmu agama di Ponpes Jamsaren, Solo. Sayangnya, kapan beliau masuk Kota Malang tidak diketahui secara pasti. Hanya saja, Kiai Badrus ke Malang bersama beberapa kiai lainnya, seperti KH. Syukri Ghozali dan KH. Damanhuri itu atas ajakan KH. Nahrowi Thohir untuk ikut mengajar di Madrasah Muallimin, Jagalan (kini menjadi Madrasah KH Badrus Salam), yang dirintis KH Nahrowi pada tahun 1924.

Selain mengajar di madrasah, Kiai Badrus juga mengajar ngaji di beberapa masjid, termasuk di Masjid Agung Jami’ Malang, dengan mengajarkan Al Qur’an dan tafsir, serta menjadi imam rowatib. Pada tahun 1961, beliau menjadi Pengurus Takmir Masjid Agung Jami’ Malang urusan Hukum dan Ibadah bersama KH Abdullah Sattar. Selain itu, juga menjadi Syuriyah NU Cabang Malang.

Kiai yang alim dibidang fiqih dan tasawuf ini, lebih konsen terhadap dunia pendidikan Islam. Bahkan, beliau tidak terlalu memikirkan masalah dunia. Hingga masalah rumah pun ikut dengan mertuanya. Beliau memiliki rumah sendiri, sekitar tiga tahun menjelang wafat. Itupun karena pemberian orang.

“Beliau itu pernah diminta menjadi Ketua Pengadilan Agama (PA) Malang sekitar tahun 1970, namun tidak mau. Kiai Badrus lebih memilih mengajar di madrasah dan berdakwah. Karenanya, beliau itu orang yang qona’ah dan ikhlas, tidak pernah pilih-pilih, siapa yang membutuhkannya atau mengundang akan sangat diperhatikan, tutur KH Abdullah Iskandar, yang juga Pengasuh Pengajian Aswaja ini.

Berkat ketulusan dan kerendahan hati beliau, banyak santri-santrinya di Muallimin yang menjadi tokoh masyarakat, seperti Brigjen (Pur) H Sulam Samsun, mantan Pengurus PBNU, Hj Siamah, Hj Muthomimah, Hj Chusnul Chotimah (mereka bertiga menjabat Pengurus Cabang Muslimat NU Kota Malang), Hj Habibah, dan H Thoha Mashudi (mantan anggota DPRD Kota Malang), serta beberapa tokoh di Malang lainnya.

Menurut Drs. HM. Kamilun Muhtadin, Ketua I Takmir Masjid Agung Jami’ Malang, Kiai Badrus Salam termasuk kiai sufi yang penuh ketulusan dan kehalusan budi. Bahkan, hampir tidak pernah absen menjadi imam rowatib di Masjid Agung Jami’. “Bila ada khotib atau pengasuh pengajian yang berhalang hadir, tanpa keberatan beliau langsung menggantikannya. Sejak pukul 10.30 pagi, beliau sudah ada di masjid untuk mengajar tadarrus Al Qur’an. Bahkan waktu itu, kami mengikuti sambil memijati kaki dan punggung beliau, ujar Kamilun Muhtadin, yang juga menjabat Kepala Kantor Pendidikan Nasional Kabupaten Malang.

Demikian juga setiap 10 hari terakhir malam Ramadhan, sebelum melakukan shalat malam, Kiai Badrus memberikan mauidhoh hasanah sekitar 10 menit, kemudian listrik dipadamkan untuk melaksanakan shalat malam.

Kiai Badrus menikah dengan Hj Tursina, adik kandung H. Dardiri (ayahanda H. Hudan Dardiri, mantan Bupati Jombang, dan H. Gatot Muhdil Islam Dardiri, Bendahara Masjid Agung Jami’ Malang). Dari pernikahan itu, beliau mempunyai tujuh putra, diantaranya, Muhyil Islam, Muawinah Syariah, Muflihul Anam, Mujahiratul Aliyah, Mubasyiratul Sholihah, Suciati Nadifatul Qolbi, dan Mudakkir Ummah.

Dalam mendidik putra-putrinya, Kiai Badrus itu sangat demokratis. Hanya saja, kami selalu ditekankan untuk mendalami ilmu agama sebelum mempelajari ilmu umum, kata Suciati, putri Kiai Badrus yang kini meneruskan cita-cita ayahnya mengajar di Muallimin.

Kiai Badrus dipanggil Allah SWT pada hari Sabtu Pahing 2 Februari 1974, bertepatan pada 9 Muharram 1394 H pukul 04.40 WIB di RSU Saiful Anwar Malang, karena sakit tekanan darah tinggi, dan dimakamkan di pemakaman umum Kasin.


Baca juga: Biografi KH Muhammad Khozin

 

 

Postingan populer dari blog ini

Haji Mabrur

  Tiada imbalan bagi orang yang berhaji dengan mabrur selain surga, begitulah hadits Nabi Muhammad SAW yang sangat populer. Mabrur itu artinya baik. Kebalikan dari haji mabrur ialah haji mardud. Mardud artinya tertolak. Sebagaimana kaidah ibadah umum lainnya, baik di sini maksudnya diniati, dilaksanakan dan ditindaklanjuti sesuai dengan fitrah manusia: adil dan atau tidak dzalim, ihsan dan atau nasihah, simahah dan atau zakah. Tiga prinsip yang diperintahkan Allah ini hampir selalu dibacakan setiap akhir khotbah Jum’at. Di sisi lain, di dunia pesantren dikenal luas kaidah bahwa setiap ibadah tak terkecuali haji selalu membutuhkan ilmu dan amal sebelum, ketika dan sesudahnya.   Mengenai adil dan atau tidak dzalim, secara global diartikan dengan tidak merugikan/menjahati/merampas hak-hak orang lain. Hasil korupsi yang dipakai untuk biaya haji misalnya, tak mungkin menghasilkan haji mabrur. Menyakiti dengan kata-kata dan atau tindakan ketika melaksanakan ibadah haji umpamanya, me...

Jangan Nasehati Orang Bodoh

  Menarik seperti apa yang dikatakan Khalifah Ali bi Abi Thalib :     “Janganlah menasehati orang yang bodoh karena  dia akan membencimu. Nasehatilah orang yang berakal karena dia akan mencintaimu” Kata kata bijak yang disampaikan oleh Khalifah Ali ini perlu kita pahami agar tahu sebutan bodoh orang itu seperti apa. Bodoh dalam hal ini lekat dengan pengertian jahilun, bukan dalam artian kemampuan akademis seseorang yang minim sehingga disebut bodoh. Makna bodoh atau jahilun Jahilun atau bodoh lebih mengacu kepada orang yang selalu benar sendiri dan tidak mau menerima kebenaran yang ada dalam Al Quran maupun Assunah. Karenanya kala menasehati orang yang paling benar bukan simpati yang didapat melah sebaliknya dia akan tersinggung dan malah menyerang. Banyaknya orang bodoh saat ini adalah penyebab kisruh dan pertikaian umat manusia saat ini, menganggap dunia itu kekal selalu tidak puas dengan apa yang didapatnya hingga yang paling parah hilangnya keimanan mereka. ...

Biografi KH Muhammad Khozin

  Mbah Khozin, KH. Muhammad Khozin, adalah seorang kyai sepuh yang sangat zuhud dan tetap istiqamah mengajarkan al Hikam di sebuah mushola kecil bercat putih yang berlokasi di kompleks Pesantren Mahir ar-Riyadh, kampung Ringin Agung, Kencong-Kediri, Jawa Timur. Meski umur beliau lebih dari 80 tahun, kyai itu sehat, jelas bicaranya, dan pendengarannya masih bisa menangkap suara dengan baik. Beliau melakukan aktivitas sehari-harinya di mushola, antara lain sembahyang, tidur, ngaji, wiridan, bersholawat 25.000 kali setiap hari, hingga bersantai hingga terima tamu. Rumah beliau yang persis ada di samping mushola, hanya digunakan untuk ganti baju, makan, bertemu istrinya dan 4 anaknya. Ketika mushola sepi, Mbah Khozin hanya ditemani kitab-kitab, alat tulis, dan kertas untuk catatan yang menumpuk rapi di atas meja. Mbah khozin tidur beralaskan sajadah, jika sedang tidak tidur, sajadah dilipat, ditaruh di pengimaman. Di pengimaman itu pula ada sampiran tempat Mbah Khozin me...