Langsung ke konten utama

Biografi KH Muhammad Khozin

 

Mbah Khozin, KH. Muhammad Khozin, adalah seorang kyai sepuh yang sangat zuhud dan tetap istiqamah mengajarkan al Hikam di sebuah mushola kecil bercat putih yang berlokasi di kompleks Pesantren Mahir ar-Riyadh, kampung Ringin Agung, Kencong-Kediri, Jawa Timur. Meski umur beliau lebih dari 80 tahun, kyai itu sehat, jelas bicaranya, dan pendengarannya masih bisa menangkap suara dengan baik.

Beliau melakukan aktivitas sehari-harinya di mushola, antara lain sembahyang, tidur, ngaji, wiridan, bersholawat 25.000 kali setiap hari, hingga bersantai hingga terima tamu. Rumah beliau yang persis ada di samping mushola, hanya digunakan untuk ganti baju, makan, bertemu istrinya dan 4 anaknya. Ketika mushola sepi, Mbah Khozin hanya ditemani kitab-kitab, alat tulis, dan kertas untuk catatan yang menumpuk rapi di atas meja.

Mbah khozin tidur beralaskan sajadah, jika sedang tidak tidur, sajadah dilipat, ditaruh di pengimaman. Di pengimaman itu pula ada sampiran tempat Mbah Khozin menaruh serban. Di sudut mushola ada kardus berisi air mineral untuk disajikan pada tamu.

Bila hari Jumat pagi tiba, mushola ramai banyak orang yang mengerumuni Mbah Khozin. Tentunya karena kapasitas mushola yang tidak besar, maka bagi yang terlambat datang, harus puas duduk di halaman beralaskan tikar, atau duduk di serambi asrama pesantren. Pada hari itu, mbah Khozin yang juga pengasuh pesantren, membuka pengajian umum. Kitab yang dibaca karya Syekh Ibnu Atho’illah as-Sakandari, yakni al-Hikam dan bila pada bulan puasa, Mbah Khozin membaca kita tersebut tiap hari, ba’da subuh.

Pengajian al-Hikam yang Mbah Khozin penjabarannya sangat luas, sehingga disenangi. Yang mengaji banyak pula yang tidak bawa kitab, namun dari penjelasan yang diutarakan beliau, beliau sudah mampu memberi pemahaman dari keterangannya tersebut. Cara memberikan pengajaran adalah mengupas kulit hingga terdapat isinya sehingga sarinya dapat diperoleh oleh para santrinya.

Merunut ke belakang, sebelum Mbah Khozin menjadi pengasuh, Pesantren Mahir ar-Riyadh diasuh almarhum KH Zaid, salah satu Mursyid Tarekat Syadziliyah di Jawa Timur yang wafat pada hari Selasa, 18 Agustus 2009, di usia 90 tahun. Sepeninggal Kiai Zaid, Mbah Khozin meneruskan tradisi yang telah digerakkan pendahulunya, di antaranya meneruskan pengajian al-Hikam itu.

Beliau menyampaikan nasihatnya bahwa tujuan mempelajari hikam adalah untuk meninggalkan segala sesuatu selaian Allah, tarku ma siwa Allah. Termasuk kalau kita berkecimpung di organisasi, berarti kita justru mencari selain Allah. Sekalipun dhohirnya kita hidup berserawungan dengan manusia, namun pada prinsipnya hati kita tetap meninggalkan segala semuanya, kecuali Allah.

Dengan kita hidup bersama-sama dengan manusia dan bergelut dalam segala hal, maka berarti menjadi penghalang untuk bisa tarku ma siwa Allah. Nah, masalahnya apa kita mampu untuk tarku ma siwa Allah? Nah, di sinilah fungsi kitab al-Hikam yang sesunggungnya, yaitu sebagai pengerem jika hendak keluar dari fungsi dasar manusia: Allah.

“Ya misalnya, duduk di pemerintahan atau kekancan dengan mereka, adalah mengurusi selain Allah. Pemerintah kan ngurusi manusia? Sedangkan mengamalkan Hikam itu kan hanya ngurusi Allah, artinya tidak pernah lupa dengan dzat yang paling sempurna.

Ya rujak campur namanya kalau mau menerapkan Hikam di pemerintahan. Tapi ini tantangan. Karena Allah juga membuat untuk kepentingan manusia. Menurut al-Ghozali, sekalipun orang ini diopyok-opyok biar tenang, namun paling hanya seribu atau seratus banding 1 yang jadi, ya lumayan masih ada yang jadi. Imam al-Ghozali sangat menjelek-jelekkan dunia, harta benda. Namun apa ada orang yang gak mau dengan dunia? Hehehe…. Yang jelas, jika ada 100 yang mengaji hikam, lalu ada 1 saja yang benar-benar bisa mengamalkan dengan sempurna, itu sudah sangat baik.” Menurut beliau, bahwa Al Hikam menjadi rujukan banyak thoriqoh karena La yu khofu ikhtilafut turuq, tidak membuat takut dengan adanya beraneka macam thoriqoh. Walakin gholabatusy syahwah, tapi yang paling membahayakan adalah godaan syahwat. Contohnya saling mencaci dan mencela antar thoriqoh.

“Misalnya, thoriqah ini sesat, nah ini yang keliru, ini syahwat. Tujuan thoriqoh kan sama, tapi kalau malah saling ejek-ejekan, ya malah bisa-bisa tidak sampai. Sebab dengan menghina dan mencaci saja kan hati ini sudah tidak madep kepada Allah, gimana mau bisa sampai kalau hatinya saja tidak sampai? Intinya, mau lewat mana saja bisa, asalkan serius dan tidak neko-neko. Tapi ya, kalau sendirian mungkin bisa, kalau gerombolan ini yang biasanya terus mencaci.”

Nasihat beliau kepada generasi muda agar bisa mengamalkan tasawuf dan thoriqoh, beliau menyampikan bahwa harus sering-sering mengaji kitab-kitab seperti Ihya’ dan Hikam ini. Sebab untuk bisa mendalami ya perlu diasah selalu. Asahya ya hikam atau ihya’. “Nah, dengan mengaji itu penting, sebab kita akan punya rel atau punya pijakan dalam hidup, kalau tidak punya rel maka ya plenyak plenyok. Hal ini sebagai mana kalau orang yang belum tahu, dia akan berdoa jika menginginkan sesuatu, padahal dalam Hikam dijelaskan bahwa Tuhan itu Maha Tahu, Tuhan Maha Adil, sehingga kalau makhluknya sudah merasa perlu, pasti akan dituruti.

Yang utama adalah dzikru Allah, selalu ingat Allah. Dan orang yang selalu ingat Allah ini akan lebih cepat terkabulkan daripada yang berdoa sampai nangis-nangis.”

Beliau belajar Al Hikam di Pesantren Bendo, Pare, Kediri. Lalu dikaji setiap Ramadhan seperti ini, kemudian diadakan tiap Jum’at pagi. Fungsine ngaji atau ngejekke ini untuk memperdalam kitab tersebut, sambil melengkapi kekurangan-kekurangan yang belum diketahui atau dilaksanakan. Kalau hanya sekali saja belajar, ya ndak masuk.

“Makanya, saya berharap kita semua bisa betah ngaji kitab tersebut. Sebab dengan kita selalu mempelajari, maka jalan hidup kita akan terkontrol, tidak nyunyak nyunyuk. Makanya, ngaji Hikam itu laksana kita menanam bibit, kalau bibit ini ndak kita lihat, apa jadinya? Jadi ya ngulik-ngulik, ndangir, ngeramut roh ya seperti ini.

Kalau hanya mempelajari wudhu dan sembahyang saja ya tentu tidak cukup. Sekarang coba, apa ada di Hikam ini bab yang nerangkan wudhu dan sholat? Semua menerangkan bagaimana bisa lebih dekat dengan Tuhan. Namun jangan salah arti, kalau hanya bab sholat, wudhu dan seterusnya itu kan hanya ampasnya, kalau ndak mempelajari dan menerapkan ajaran Hikam ini, ya mana mungkin kita dapat sarinya.” Pendapat beliau tentang wacana Indonesia dijadikan Negara Islam, “Kalau pendapat saya ini begini lo, mereka yang mau mendirikan NII itu terlalu keluar jauh, sebagaimana dalil dalam Al-Qur’an Ku anfusakum wa ahlikum naro. Openono awakmu utowo keluargamu ben iso bener, kalau kalian tetap melaksanakan, maka kalian tidak dapat manfaat apapun, akan tetapi Allah juga membuat orang yang tidak mendapatkan manfaat apapun Allah menguatkan agama Islam sekalipun dengan menciptakan manusia yang tidak member manfaat terhadap islam, termasuk didalamnya adalah orang-orang yang lacut dan seterusnya.

Mereka yang mau mendirikan Negara Islam belum tentu bisa kuat, justru malah akan hancur. Coba saja kalau tidak percaya! Emang kuat kamu tidak melihat perempuan? Kamu berani atau tidak takut kalau zina lalu di rajam? Kalau membunuh balik di bunuh. Jadi pilihan ulama waktu itu ya sudah sangat benar. Pancasila itu sudah benar. Jadi, yang terpenting adalah menjaga dirimu dan keluargamu, namun kalau ada yang seperti itu, ya memang dibuat oleh Allah guna memperkuat agama itu sendiri. Kalau pun ada yang mensyuarakan Darul Islam, ya memang sama Allah sudah dibuat sedemikan rupa guna memperkuat susunan yang sudah ada. Sekalipun ada Darul Islam, apakah kedzaliman lalu sirna? Tetep ada dan itu selamanya. Orang maksiat tetap ada, sebab memang sudah dibuat sedemikian rupa.

Tapi bukan berarti manusia lalu semua harus sama, semua harus seperti saya, ya tentu tidak. Ada kalanya yang di pemerintahan, ada kalanya yang di organisasi. Tapi nek wes nyandak al-Hikam, jelas gak pengen seperti itu, pokoknya hasbunallah wa ni’mal wakil, tapi kalau memang kamu seperti itu, ya minimal bisa dijadikan pijakan. Saya dulu juga pernak aktif di NU, tapi lama-lama juga mundur dan sekarang jadi penjaga gawang.”

Pendapat beliau tentang ilmu Falak, “ilmu Falak itu sebenarnya adalah gerak-laku matahari dan bulan yang terkendali, atau dipelanggerii. Lalu di namakan ilmu pasti atau ilmu qoth’i. Nah yang menjadi kelemahan manusia sekarang adalah kurang mampu menghitung perjalanannya yang hingga per detik. Sedangkan yang membuat jadual adalah orang yang sangat luar biasa, sangat njelimet tentunya.

Jadi, setahun itu gerak matahari sudah bisa terjadual, mulai dari yang sifatnya setahun, sebulan, sehari hingga sedetik itu sudah bisa dijadual, dan jadual seperti itu kok selalu cocok. Bahkan, ilmu bulan itu malah lebih mudah sebab lebih pasti. La yang saya sanjung itu ya pengarang kitab falak ini.

Yang sudah jelas itu bulan Muharam. Sebab tiap bulannya itu 29 hari lebih 12 jam lebih 44 menit, lebih 2 detik setengah. La kalau dikumpulkan terus, maka tiap 10 tahun tidak meleset. Akan selalu berputar sesuai dengan rotasinya. Tapi berbeda lagi dengan bulan lainnya. Ada yang sebulan itu 29 hari lebihnya 14 jam 2,5 detik. Lalu nanti kalau dikaitkan dengan penanggalan masehi, sebenarnya sudah terjadual, namun kita tidak telaten itu ya menghitung seperti ini. Nah, kalau sudah bisa sebenarnya mudah, untuk menentukan waktu sembahyang itu mudah. Jadi begitu. Ke sana-sananya harus dibicarakan sendiri. Tapi, harus selalu inget Allah.”

 

Baca juga: Biografi KH Bisri Syansuri

Postingan populer dari blog ini

Haji Mabrur

  Tiada imbalan bagi orang yang berhaji dengan mabrur selain surga, begitulah hadits Nabi Muhammad SAW yang sangat populer. Mabrur itu artinya baik. Kebalikan dari haji mabrur ialah haji mardud. Mardud artinya tertolak. Sebagaimana kaidah ibadah umum lainnya, baik di sini maksudnya diniati, dilaksanakan dan ditindaklanjuti sesuai dengan fitrah manusia: adil dan atau tidak dzalim, ihsan dan atau nasihah, simahah dan atau zakah. Tiga prinsip yang diperintahkan Allah ini hampir selalu dibacakan setiap akhir khotbah Jum’at. Di sisi lain, di dunia pesantren dikenal luas kaidah bahwa setiap ibadah tak terkecuali haji selalu membutuhkan ilmu dan amal sebelum, ketika dan sesudahnya.   Mengenai adil dan atau tidak dzalim, secara global diartikan dengan tidak merugikan/menjahati/merampas hak-hak orang lain. Hasil korupsi yang dipakai untuk biaya haji misalnya, tak mungkin menghasilkan haji mabrur. Menyakiti dengan kata-kata dan atau tindakan ketika melaksanakan ibadah haji umpamanya, menandai ba

Riwayat dari KH Badrus Salam

  Lahir di Desa Tempursari, Kecamatan Klaten, Solo Jateng, pada Tahun 1906. Wafat Sabtu, 9 Muharram 1394 H (2 Februari 1974). Dimakamkan di Pemakaman Umum Kasin, Malang. Pendidikan Ponpes Jamsaren, Solo. Putra/Putri 7 Orang Perjuangan/Pengabdian : Guru Madrasah Muallimin, Jagalan, Mengajar di beberapa masjid, termasuk di Masjid Agung Jami’ Malang, menjadi Imam Rowatib, dan Pengurus Takmir Masjid Agung Jami’ Malang, menjadi Syuriyah NU Cabang Malang. Kiai yang Menjadi Khodimul Ummah “Dan tidaklah Aku jadikan jin dan manusia, melainkan hanya untuk mengabdikan diri kepada-Ku.” Salah satu ayat dalam Al Qur’an surat Addariyat ayat 56 itulah yang menjadi pedoman dasar KH. Badrus Salam. Karenanya, tidaklah heran jika kemudian segala aktivitas hidup beliau lebih banyak dicurahkan untuk mengabdi kepada Allah SWT, dan menjadi khodimul ummah (melayani kepentingan umat). Prinsipnya, segala aktivitas hidup itu harus diniati untuk beribadah, tanpa pamrih atau mengharapkan sesuatu dar

Biografi dari KH Zaini Mun'im

Membaca kisah para ulama sedikit banyak dapat menambah keyakinan kita. Hikmah yang dapat diambil dari para ulama semoga bisa membawa barokah. Artikel berikut ini tentang biografi KH Zaini Mun'im , seorang ulama besar dari Madura. KH. ZAINI MUN’IM dilahirkan pada tahun 1906 di Desa Galis Pamekasan Madura. Beliau putera pertama dari dua bersaudara dari pasangan KH. Abdul Mun’im dan Ny. Hj. Hamidah. Beliau (KH. ZAINI MUN’IM) nama kecilnya adalah Abdul Mughni. Pada tubuh beliau mengalir darah Ulama dan Bangsawan. Ayah beliau KH. Abdul Mun’im adalah putera Kiai Mudarik bin Kiai Ismail. Kiai Ismail adalah generasi kedua penerus Pondok Pesantren Kembang Kuning Pamekasan Madura. Beliau keponakan Kiai Mahalli Pendiri Pondok Pesantren Kembang Kuning. Kakek Kiai Ismail adalah Kiai Nuruddin Gunung Tinggi Pakong, beliau (dari jalur Kiai Batu Ampar Wetan) adalah keturunan Bendoro Saud alias Temenggung Tirtonegoro, Adipati Sumenep yang juga keturunan Pangeran Ketandur atau cucu dari Su