Mencintai Allah dan Rasulullah Muhammad SAW, dalam kitab Futuhul Madaniyyah karya Syeikh Nawawi Al Bantani ditempatkan pada urutan ketujuh diantara cabang-cabang keimanan yang dalam kitab atau buku tersebut disebutkan tujuhpuluh tujuh cabang. Selanjutnya, Syeikh Nawawi mengutip hadits yang diriwiyatkan dua guru -Imam Buchori dan Muslim- bahwa Rasulullah telah bersabda yang kurang-lebih artinya; “Tiga perkara, siapa saja yang dirinya mengandung tiga perkara, dia akan menemukan manisnya iman”
mencintai Allah dan Rasulullah melebihi kecintaannya kepadaselain keduanya,
mencintai seseorang semata-mata karena dan dalam koridor(perintah) Allah,
benci kalau sampai kembali ke dalam kekafiran setelah Allah menyelamatkannya dari kekafiran, sebagaimana dia benci kalau sampai dicemplungkan ke dalam neraka.
Mencintai Allah dan Rasulullah melebihi kecintaan kepada apa saja, merupakan salah satu syarat menuju “iman sempurna”. Mencintai berarti menomorsatukan. Segenap perintah dari Sang Kekasih sigap dilaksanakan. Setiap larangan Sang Tercinta serta-merta dijauhi. Berarti pula; bagaimana caranya mencintai Allah, ialah dengan mengikuti petunjuk Rasulullah. Mencintai Allah dilaksanakan dengan meniru bagaimana Rasulullah mencintai Allah. “Katakanlah, jika kalian (mengaku) mencintai Allah, ikutilah diriku (baca: Rasulullah), maka Allah akan mencintai dan mengampuni dosa kalian,” demikianlah kurang-lebihnya terjemahan dari salah satu ayat Al Qur’an.
Bagi para Sahabat (orang-orang Islam yang hidup sezaman dengan Rasulullah), mereka beruntung karena secara langsung dapat melihat, mendengar dan konsultasi kepada beliau. Generasi penerusnya yang sering disebut Tabi’in, meskipun tak sezaman dengan Rasulullah, mereka beruntung karena dapat belajar secara langsung kepada para Sahabat yang terus menjaga ajaran Rasulullah. Generasi berikutnya ialah Tabi’it Tabi’in yakni barisan murid/pengikut Tabi’in. Dilanjutkan dengan generasi Ulama Salaf (Ulama Kuno) yang belajar dan mewarisi ajaran Rasulullah dari para Tabi’it Tabi’in. Adapun generasi sesudahnya disebut generasi Ulama Kholaf (Ulama Baru). Demikianlah, sudah semestinya mata-rantai pewarisan ajaran Rasulullah terus terjaga.
“Aku tinggalkan/wariskan kepada kalian dua perkara, siapa saja yang berpegang-teguh pada keduanya, selamatlah dia. Dua perkara itu adalah Al Qur’an dan Sunnah (jalan hidup) Rasulullah,” begitulah kirakira sabda Rasulullah yang diriwayatkan Bukhori dan Muslim. Maksud dari sabda Rasulullah tersebut diantaranya ialah, dalam memahami dan mengamalkan Al Qur’an, dalam ber-Islam, menjadi sah hanya bila mencontoh Rasulullah. “Sungguh sudah ada dalam diri Rasulullah contoh terbaik bagi orang-orang yang berharap dapat menghadap Allah dengan penuh keridloan,” demikian kurang-lebih bunyi firman Tuhan dalam salah satu ayat Al Qur’an. Hal ini selaras dengan dua kalimat syahadat; “aku bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan aku bersaksi Muhammad adalah utusan Allah”, maksudnya “aku hanya menyembah Allah, dan caraku menyembah Allah ialah meniru/mencontoh/mengikuti Muhammad sebagai Rasulullah”.
Pernah juga Rasulullah bersabda, bahwa “ulama adalah pewaris/penerus para Nabi”. Ulama yang mewarisi para Nabi merujuk kepada ‘ulama akherat’, karena Rasullullah juga menjelaskan adanya jenis ulama lain yang disebutkan oleh beliau dengan ‘ulama dunia’ yang sangat berbahaya bagi sesama. Rasulullah mengatakan, beliau lebih mengkhawatirkan pengaruh buruk ‘ulama dunia’ ketimbang bahaya pengaruh Dajjal sekalipun. Bagaimana membedakan keduanya? Imam Al Ghazali memberi resep sederhana: “Jika kita melihat atau mendekati ‘ulama akherat’ kita menjadi teringat Allah, Rasulullah, orang-orang saleh, akherat dan (meskipun hanya sejenak) kita memahami remehnya kehidupan dunia dibandingkan agungnya kehidupan di akherat, dan akhirnya bertekad kuat (meskipun akhirnya belum tentu terlaksana) untuk membaguskan peribadatan kepada-Nya”. Adapun bila melihat atau mendekati ‘ulama dunia’ atau ‘ulama busuk’ atau ‘ulama jahat’, yang terjadi adalah sebaliknya.
Sedangkan mencintai seseorang semata-mata karena Allah ialah mencintai apa-siapa saja hanyalah dalam rangka melaksanakan kecintaannya (berarti pula: ketaatannya) kepada Allah dan Rasulullah. Seorang suami mencintai dan menyayangi istri, semata-mata karena Allah dan Rasulullah memerintahkannya. Seorang istri mencintai dan setia kepada suami, karena itulah perintah Allah dan Rasulullah. Orang tua mencintai anak-anaknya, sebab begitulah perintah Allah dan Rasulullah.
Buku Ihya Ulumuddin karya Imam Ghazali yang masyhur itu merekam beberapa perilaku individu yang berhasil “jatuh cinta” kepada Allah. Individu-individu begitulah yang memperoleh sebutan auliya (kata jamak dari kata “wali”) atau barisan Kekasih Allah. Saking cintanya kepada Allah, setiap mendengar nama Sang Kekasih disebutkan, seorang wali jatuh pingsan. Masih menurut laporan Al Ghazali, di zaman Nabi Isa ada satu kejadian. Suatu ketika, dalam satu perlawatannya, di satu sudut kota Nabi Isa bertemu dengan seorang juru taman. Si juru taman memohon agar Nabi Isa sudi mendoakan, “Wahai Nabiyullah, mohonkanlah kepada Allah agar berkenan menganugrahi hatiku rasa cinta kepada-Nya.” “Engkau tak akan kuat menerimanya,” jawab Isa. “Sebesar buah apel saja,” kata si Juru Taman.“Engkau tak akan sanggup,” jawab Nabi Isa. “Sebesar separo buah apel saja,” si Juru Taman gigih memohon. “Engkau tak akan mampu menerimanya,” sahut Nabi Isa dengan cepat. “Sebesar secuil dari buah apel saja,” si Juru Taman tak menyerah.“Baiklah. Ya Allah, anugerahilah dalam hati Juru Taman ini rasa Cinta kepada-Mu, sebesar secuil buah apel saja, Amin.” Beberapa bulan setelah kejadian itu secara kebetulan Nabi Isa melewati sudut kota tempat beliau bertemu si Juru Taman. Tapi, si Juru Taman tak tampak. Nabi Isa menanyakan kepada orang-orang.
“Wahai Nabiyullah, sejak Engkau tinggalkan beberapa bulan lalu, si Juru Taman langsung menjadi gila. Dia lari ke bukit dan menatap langit tanpa pernah berkedip. Lupa segala-galanya, tidak makan, tidak minum dan yang lain-lainnya, sampai hari ini. Nabi Isa pun mendatangi bukit yang dimaksudkan. Tampaklah oleh Nabi Isa si Juru Taman yang tengah tengadah. Bajunya sudah compang-camping. Badannya sudah tidak karu-karuan. Nabi Isa mengucapkan salam berkali-kali, tapi si Juru Taman bagai patung yang tuli dan tak mau peduli. “Hai Juru Taman, menjawab salam itu wajib!” Belum selesai sabda Nabi Isa, terdengar jawaban dari langit, “Hai Isa, si Juru Taman itu sedang asyik dengan cinta-Nya yang sebesar secuil apel. Seorang Kekasih yang sedang sibuk dan asyik bercengkrama dengan Kekasihnya, takkan pernah peduli dengan apa saja, termasuk dengan salam yang kamu ucapkan, dia tak mendengar sama sekali.”
Namun demikian, ekspresi kecintaan kepada Allah tidak mesti ekstrim seperti contoh-contoh diatas. Bahkan, belum tentu yang ekstrem-ekstrem itu berarti auliya. kebanyakan auliya berpenampilan biasa-biasa saja. Yang ekstrim-ekstrim itu sedikit saja. Persis dengan para nabi dan rasul, yang ekstrem itu hanya Nabi Khidir. Juga dengan sahabat-sahabat Nabi Muhammad SAW yang dahsyat, hanya Uwais Al Qorni yang penampilannya ekstrem.
Berbeda dengan nabi dan rasul yang mudah dikenali, auliya itu semacam kelompok rahasia. Kaidah populernya: laa ma’rifatal wali illal wali, tidak ada yang tahu wali kecuali sesama wali. Konsekuensinya, ketika seorang wali telah diketahui orang banyak karena “pengumuman” wali lainnya (yang mungkin berpenampilan ulama tepercaya), hal itu menunjukkan saat wafatnya telah dekat. Abuya Dimyati Banten dan Tuan Guru Ijai Martapura contohnya, begitu keduanya menjadi “rebutan” masyarakat, keduanya pun tak berapa lama (2-3 tahun) kemudian wafat.
Fenomena kewalian ini sering menjadi bahan “pertengkaran” antara seorang muslim ‘tradisional’ dan muslim ‘modern’. Yang satu begitu mudahnya menganggap seseorang itu sebagai wali, yang lainnya begitu mudahnya menganggap seorang yang benar-benar wali sebagai orang biasa. Yang satu memberi peluang kepada barisan dukun mengaku-aku sebagai wali, yang lainnya menutup diri dari mengagumi kehebatan seorang wali. Bagaimana bisa hebat, kalau mengagumi orang hebat saja tidak bisa?
Karena wali hanya diketahui oleh sesama wali, kita amsalkan saja dengan fenomena kyai/ulama. Ke-kyai-an itu bukan diukur dari pengakuan massa, tetapi diukur dari pengakuan kyai lainnya. Yang bisa membedakan emas dengan tembaga tentulah ahli emas, bukan setiap orang. Yang tahu ke-kyai-an seseorang tentulah barisan kyai (terutama kyai yang lebih senior), bukan masyarakat biasa.
Kyai yang hebat kebanyakan justru tidak populer. Kyai-kyai atau dai-dai yang populer biasanya juga justru bukan yang hebat. Sesuatu yang berharga tentu tersimpan rapat. Barang-barang yang sepele tentu mudah didapat. Walloohu a’lam.
(K.H. Muhammad Fuad Riyadi)