Langsung ke konten utama

Amalan Yang Tidak Boleh Dilakukan Wanita Ketika Haid

Amalan Yang Tidak Boleh Dilakukan Wanita Ketika Haid


Wanita dalam keadaan Haid sepertinya sangat terbatas untuk melakukan ibadah, tentu memang banyak larangan melakukan ibadah inti, hal ini dikarenakan memang dalam keadaan Haid keadaan wanita tidak dalam keadaan suci, kesehatan kerap menurun (anemia atau darah rendah) dan keadaan psikologisnya sering tak menentu dan emosionalnya tak terkendali.
Namun, apakah sahabat hanya berdiam diri tak melakukan apapun saat haid yang bernilai ibadah? Tentu saja tidak. Banyak hal yang tetap bisa dilakukan untuk wanita Haid dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah diantaranya adalah boleh berdzikir bertasbih, tahmid dan tahlil, istighfar, bertaubat, mendengarkan bacaan Al Qur’an, belajar, membaca hadist, berdoa, mengikuti halaqah ilmu asal tak berada didalam masjid demikian Syaikh Ibnu Baz berpendapat.

Kemudian apa saja amalan yang terlarang untuk wanita yang sedang haid? Hal ini bisa dirangkum sebagai berikut:
• Puasa wajib (Ramadhan) maupun puasa sunah,  dasarnya hadist dari Abi Said Al-Khudhri ra, yang mensyarikan wanita haid dilarang berpuasa dan ia diwajibkan dihari yang lain.
• Thawaf, wanita haid dilarang thawaf di baitullah karena thawaf disyaratkan seorang harus suci dari hadas kecil maupun besar, namun ibadah haji yang lain diperbolehkan mengikutinya.
Dari Aisyah ra berkata Rasulullah saw bersabda, “Bila kamu mendapat haid, lakukan semua praktek ibadah haji kecuali thawaf di sekeliling ka’bah hingga kamu suci.
• Shalat, diharamkan atasnya wanita haid juga  tak ada kewajiban mengqada’ shalat yang ditinggalkannya.
• Berwudhu atau mandi besar, menurut As Syafi’iyah dan Hanabilah wanita yang sedang mendapatkan haid di haramkan berwudhu dan mandi janabah. Maksudnya mandi janabah itu berniat bersuci padahal masih belum rampung haidnya, namun jika mandi biasa, tentu saja boleh.
• Menyentuh dan membawa Al Qur’an. Jumhur ulama sepakat orang dalam keadaan berhadas besar, termasuk haid dilarang menyentuh, membawa juga membacanya.
• Hubungan intim dengan suami, bisa dilihat dalam surat Al Baqarah ayat 222. Dari ayat itu bisa diketahui jika Allah memerintahkan untuk ‘menjauhi’ wanita yang haid sebelum suci. Menjauhi disini tentu saja berarti berhubungan intim.
Hanabilah membolehkan mencumbu wanita sedang haid pada bagian tubuh selain antara pusar dan lutut selama tak terjadi persetubuhan.
Hanafi, Syafi’i dan Maliki, ketiga ulama sepakat keharaman berbuat intim yang sedang haid bukan hanya sebatas mereka telah selesai dari haidnya, namun harus suci sampai dengan mandi janabahnya.
• Melafazkan Ayat Al Qur’an
Namun Malik berpendapat dalam Bidayatul Mujtahiad jilid 1 hal 133 membolehkan wanita membaca Al Qur’an dengan syarat tak menyentuh mushaf Al Qur’an. Hal ini dimaksudkan untuk penghafal Al Qur’an muslimah untuk tetap bisa menghafalkan karena khawatir hilang hafalan jika haidnya lama, namun tidak boleh terlalu banyak membacanya.
• Masuk masjid, hal ini untuk menjaga kesucian masjid tentunya. (sumber: Ahmad Sarwat Lc)

Tak ada alasan kan bagi wanita yang sedang haid berdiam diri tanpa lakukan apapun untuk melakukan amal kebajikan yang bernilai ibadah, tapi jangan salah juga untuk menyikapi beberapa hal yang ternyata memang terlarang dilakukan oleh wanita haid.

 
 
 

Postingan populer dari blog ini

Haji Mabrur

  Tiada imbalan bagi orang yang berhaji dengan mabrur selain surga, begitulah hadits Nabi Muhammad SAW yang sangat populer. Mabrur itu artinya baik. Kebalikan dari haji mabrur ialah haji mardud. Mardud artinya tertolak. Sebagaimana kaidah ibadah umum lainnya, baik di sini maksudnya diniati, dilaksanakan dan ditindaklanjuti sesuai dengan fitrah manusia: adil dan atau tidak dzalim, ihsan dan atau nasihah, simahah dan atau zakah. Tiga prinsip yang diperintahkan Allah ini hampir selalu dibacakan setiap akhir khotbah Jum’at. Di sisi lain, di dunia pesantren dikenal luas kaidah bahwa setiap ibadah tak terkecuali haji selalu membutuhkan ilmu dan amal sebelum, ketika dan sesudahnya.   Mengenai adil dan atau tidak dzalim, secara global diartikan dengan tidak merugikan/menjahati/merampas hak-hak orang lain. Hasil korupsi yang dipakai untuk biaya haji misalnya, tak mungkin menghasilkan haji mabrur. Menyakiti dengan kata-kata dan atau tindakan ketika melaksanakan ibadah haji umpamanya, menandai ba

Riwayat dari KH Badrus Salam

  Lahir di Desa Tempursari, Kecamatan Klaten, Solo Jateng, pada Tahun 1906. Wafat Sabtu, 9 Muharram 1394 H (2 Februari 1974). Dimakamkan di Pemakaman Umum Kasin, Malang. Pendidikan Ponpes Jamsaren, Solo. Putra/Putri 7 Orang Perjuangan/Pengabdian : Guru Madrasah Muallimin, Jagalan, Mengajar di beberapa masjid, termasuk di Masjid Agung Jami’ Malang, menjadi Imam Rowatib, dan Pengurus Takmir Masjid Agung Jami’ Malang, menjadi Syuriyah NU Cabang Malang. Kiai yang Menjadi Khodimul Ummah “Dan tidaklah Aku jadikan jin dan manusia, melainkan hanya untuk mengabdikan diri kepada-Ku.” Salah satu ayat dalam Al Qur’an surat Addariyat ayat 56 itulah yang menjadi pedoman dasar KH. Badrus Salam. Karenanya, tidaklah heran jika kemudian segala aktivitas hidup beliau lebih banyak dicurahkan untuk mengabdi kepada Allah SWT, dan menjadi khodimul ummah (melayani kepentingan umat). Prinsipnya, segala aktivitas hidup itu harus diniati untuk beribadah, tanpa pamrih atau mengharapkan sesuatu dar

Biografi dari KH Zaini Mun'im

Membaca kisah para ulama sedikit banyak dapat menambah keyakinan kita. Hikmah yang dapat diambil dari para ulama semoga bisa membawa barokah. Artikel berikut ini tentang biografi KH Zaini Mun'im , seorang ulama besar dari Madura. KH. ZAINI MUN’IM dilahirkan pada tahun 1906 di Desa Galis Pamekasan Madura. Beliau putera pertama dari dua bersaudara dari pasangan KH. Abdul Mun’im dan Ny. Hj. Hamidah. Beliau (KH. ZAINI MUN’IM) nama kecilnya adalah Abdul Mughni. Pada tubuh beliau mengalir darah Ulama dan Bangsawan. Ayah beliau KH. Abdul Mun’im adalah putera Kiai Mudarik bin Kiai Ismail. Kiai Ismail adalah generasi kedua penerus Pondok Pesantren Kembang Kuning Pamekasan Madura. Beliau keponakan Kiai Mahalli Pendiri Pondok Pesantren Kembang Kuning. Kakek Kiai Ismail adalah Kiai Nuruddin Gunung Tinggi Pakong, beliau (dari jalur Kiai Batu Ampar Wetan) adalah keturunan Bendoro Saud alias Temenggung Tirtonegoro, Adipati Sumenep yang juga keturunan Pangeran Ketandur atau cucu dari Su