Langsung ke konten utama

Kisah Mualaf: Kaya dan Terkenal Tidak Menjamin Kebahagiaan

Kisah Mualaf: Kaya dan Terkenal Tidak Menjamin Kebahagiaan


Ketenaran dan kekayaan tidak menjamin orang bisa hidup bahagia. Mungkin bagi sebagian orang ketenaran justru membuat semakin gelisah.

Hal ini dirasakan oleh musisi dunia era 70-an, Cat Stevens. Di tengah gelimang harta dan popularitas, Stevens justru merasa gelisah dengan keberadaannya di dunia ini.

Dia merasa bingung dan kerap bertanya siapa dia, mengapa terlahir ke dunia dan untuk apa?

Sejak kecil, Stevens sudah akrab dengan gemerlapnya dunia hiburan. Meski diajarkan untuk mengenal Tuhan, tapi Stevens sempat bingung karena tidak bisa melakukan kontak langsung dengan-Nya.

“Saya menerima ajaran itu, tapi tidak pernah memahaminya secara bulat-bulat,” kata Stevens mengenang.

Meski merasa bingung dengan ajaran agama yang dianutnya, Stevens tetap menerimanya. Dia harus menghormati keyakinan orangtuanya.

Karena tumbuh di lingkungan industri hiburan, Stevens mulai menggeluti dunia musik dan melupakan kebingungan terhadap ajaran agamanya.

Di pikirannya saat itu hanya satu, menjadi bintang musik pop terkenal. Dia mulai menciptakan musik dan media massa mulai meracuni pikirannya.

“Saya pikir mungkin inilah Tuhan saya, mendapat uang sebanyak-banyaknya,” kata Stevens.

Stevens lantas benar-benar menjadi penyanyi pop terkenal. Fotonya terpampang di mana-mana. Bahkan dia mulai terjerumus ke dalam narkoba dan minum-minuman keras.

Setelah setahun mencecap kesuksesan dan kenikmatan duniawi, Stevens jatuh sakit dan harus dirawat di rumah sakit. Saat itulah dia mulai berpikir apa yang baru saja terjadi? Apa saya hanya sepotong daging? Lalu mengapa hidup ini hanya untuk memuaskan daging rapuh ini?

“Saat itu saya baru sadar bahwa petaka itu merupakan berkah yang diberikan Allah untuk membuka mata saya,” ungkap dia.

cat_stevens_002Stevens pun mulai melakukan pencarian spiritual. Karena saat itu di Barat sedang tren mempelajari hal mistis dari Timur, Stevens ikut mempelajarinya. Dia mulai sadar tentang kematian. Tetapi pertanyaan dalam hatinya masih mengganggunya.

Suatu hari, saudara Stevens baru pulang dari Yerussalem dengan membawa salinan Alquran. Saudara Stevens itu mengatakan saat di sana dia pergi ke sebuah masjid dan sangat terkesan karena ramai dikunjungi orang, seperti ada denyut kehidupan di dalamnya.

“Meski dia tidak masuk Islam, dia mengatakan ada sesuatu dalam agama ini (Islam). Dia memberikan Alquran itu kepada saya,” terang dia.

Setelah menerima Alquran pemberian saudaranya, Stevens membacanya dengan antusias. Saat itulah dia merasa telah menemukan agama yang benar. Agama yang tidak seperti pandangan masyarakat Barat selama ini bahwa agama itu hanya untuk orang-orang tua.

“Di Barat, jika ada orang memeluk agama dan menjadikannya sebagai gaya hidup, maka akan dibilang fanatik.”

Sejak mengetahui kandungan Alquran, satu-satunya keinginan Stevens adalah menjadi seorang Muslim. Dari Alquran dia tahu bahwa semua nabi dan rasul yang dikirim Allah adalah untuk menyampaikan pesan yang sama.

“Saya menemukan Alquran berbeda. Ada keindahan di dalamnya. Alquran melarang menyembah bulan atau matahari tapi menyuruh untuk merenung dan mempelajarinya.”

Stevens kemudian melanjutkan membaca Alquran. Dia menemukan masalah salat, sedekah dan perbuatan baik lainnya.

Meski belum menjadi seorang Muslim, Stevens merasa Alquran adalah jawaban dari pemikiran-pemikiran yang selama ini mengganggunya dan Allah telah mengirimkan jawaban kepadanya melalui Alquran.

Stevens kemudian menemui seorang Muslimah bernama Nafisa dan mengatakan bahwa dia ingin masuk Islam. Nafisa mengajak Stevens ke Masjid New Regent.

Ketika itu tahun 1977, satu setengah tahun sesudah dia membaca Alquran pemberian saudara lelakinya. Pada hari Jumat, setelah salat Jumat, Yusuf menemui imam masjid dan mengucapkan dua kalimat syahadat.

Stevens pun menjadi seorang Muslim dan berganti nama menjadi Yusuf Islam. Dia tetap bermusik, dan menjadikan lagu-lagunya sebagai media dakwah.

Postingan populer dari blog ini

Haji Mabrur

  Tiada imbalan bagi orang yang berhaji dengan mabrur selain surga, begitulah hadits Nabi Muhammad SAW yang sangat populer. Mabrur itu artinya baik. Kebalikan dari haji mabrur ialah haji mardud. Mardud artinya tertolak. Sebagaimana kaidah ibadah umum lainnya, baik di sini maksudnya diniati, dilaksanakan dan ditindaklanjuti sesuai dengan fitrah manusia: adil dan atau tidak dzalim, ihsan dan atau nasihah, simahah dan atau zakah. Tiga prinsip yang diperintahkan Allah ini hampir selalu dibacakan setiap akhir khotbah Jum’at. Di sisi lain, di dunia pesantren dikenal luas kaidah bahwa setiap ibadah tak terkecuali haji selalu membutuhkan ilmu dan amal sebelum, ketika dan sesudahnya.   Mengenai adil dan atau tidak dzalim, secara global diartikan dengan tidak merugikan/menjahati/merampas hak-hak orang lain. Hasil korupsi yang dipakai untuk biaya haji misalnya, tak mungkin menghasilkan haji mabrur. Menyakiti dengan kata-kata dan atau tindakan ketika melaksanakan ibadah haji umpamanya, me...

Antara Berjamaah dan Sendirian

  Sholat jama’ah itu lebih utama 27 derajat dibanding sholat sendiri, keutamaan sholat sunat di rumah (tidak berjamaah) dibandingkan sholat sunat di masjid sama dengan keutamaan sholat jamaah, begitu kira-kira Nabi Muhammad SAW telah bersabda. Dalam riwayat lain, sabda beliau: sholat jama’ah lebih utama 25 derajat daripada sholat sendiri. Jadi, 25 atau 27 derajat keutamaannya sesuai dengan kesungguh-sungguhannya, dan hanya Allah sajalah yang berhak menentukan.   Sebagaimana dicontohkan Nabi SAW dan dijelaskan para ulama dalam berbagai kitab (lebih-lebih kitab kuning), keutamaan sholat berjamaah itu berlaku untuk sholat wajib (sholat fardlu 5 waktu), ketika tidak sedang bepergian jauh. Bila sedang jadi musafir (bepergian jauh) sebagian ulama mengatakan, sholat wajib tidak harus berjamaah. Sepanjang hidup, Nabi SAW selalu berjamaah ketika sholat wajib. Adapun dalam sholat sunat, secara umum justru derajat (pahalanya) lebih tinggi kalau dilakukan sendiri (tanpa berjama’ah). Belia...

Biografi KH Bishri Syansuri (1886-1980 M)

(Sumber foto: nu.or.id) Seorang mukmin sejati pasti percaya bahwa ada yang mengatur perjalanan hidup manusia, yaitu Dzat Yang Maha Berkehendak. Walaupun dalam batas-batas tertentu Dzat Yang Maha Agung itu juga memberikan kewenangan kepada manusia untuk menentukan jalan hidupnya sendiri. Begitupun, Bishri Syansuri kecil tentu tidak akan pernah menyangka jika pada akhirnya akan menjadi “orang“ di Denanyar Jombang, bahkan sampai menjadi Rais ‘Aam PBNU menggantikan kakak iparnya (KH Abdul Wahab Hasbullah) yang harus terlebih dahulu menghadap Allah SWT. Beliau berkakak ipar dengan KH Abdul Wahab Hasbullah, Kiai Bisri juga berbesan dengan KH Hasyim Asy’ari, gurunya. KH Wahid Hasyim putra KH Hasyim Asy’ari, menikah dengan Hj. Solichah putri beliau dan dari merekalah lahir KH Abdurrahman Wahid, alias Gus Dur, yang kelak akan menjadi Presiden. Lahir Bishri Syansuri dilahirkan di Desa Tayu, Kabupaten Pati, Propinsi Jawa Tengah, tanggal 28 Dzulhijjah 1304 H / 18 September 1886. Ayah...