Langsung ke konten utama

Syukur dan Sabar

 Syukur dan Sabar

thank you

Ada dua perkara, siapa saja memilikinya,  Allah SWT mencatatnya sebagai orang yang bersyukur dan sabar; dan siapa saja tidak memilikinya, Allah tidak mencatatnya sebagai orang yang bersyukur dan sabar. Siapa saja yang dalam urusan agamanya memandang kepada orang yang lebih tinggi darinya, lalu dia berusaha meneladaninya, dan dalam urusan agamanya melihat kepada orang yang lebih rendah darinya, lalu ia memuji Allah SWT atas karunia-Nya yang telah Dia berikan kepadanya, maka Allah SWT mencatatnya sebagai orang yang bersyukur dan sabar. Siapa saja yang dalam urusan agamanya memandang kepada orang yang lebih rendah darinya, dan dalam urusan dunianya melihat kepada orang yang lebih tinggi darinya, lalu ia bersedih atas apa yang tidak ada pada dirinya dari dunia itu, maka Allah SWT tidak mencatatnya sebagai orang yang bersyukur dan sabar.” (HR at-Tirmidzi).

Terkait dengan sabda Baginda Nabi Muhammad SAW ini, dalam kitab Tuhfah al-Ahwadzi bi Syarh Jâmi' at-Tirmidzi, Muhammad Abdurrahman bin Abdurra-him al-Mubarakfuri menjelaskan: Pertama, memandang kepada orang yang tinggi da-lam urusan agamanya maknanya adalah memandang kepada orang yang lebih banyak ilmu agamanya, amal shalihnya, sikap qanâ'ah-nya dan riyâdhah (pengen-dalian jiwa)-nya. Kedua, melihat kepada orang yang lebih rendah dalam urusan dunianya maksudnya adalah melihat kepada orang yang lebih fakir dan lebih sedikit hartanya. Ketiga, yang dimaksud dengan memandang kepada orang yang lebih rendah dalam urusan agama adalah bahwa ia merasa cukup bahkan bangga dengan amal shalih yang telah ia lakukan. Keempat, yang dimaksud melihat kepada orang yang lebih tinggi dalam urusan dunianya adalah melihat kepada orang kaya yang selalu fokus mengejar kekayaan, diperbudak harapan dan angan-angan serta berlaku riya.

Al-Mubarakfuri lalu mengutip firman Allah SWT (yang artinya): ...supaya kalian tidak bersedih atas apa saja yang luput dari diri kalian dan tidak pula terlalu gembira dengan apa saja yang telah kalian peroleh.” (Al-Hadid ayat 23) 

Terkait dengan ayat di atas, Imam al-Qurthubi dalam kitab tafsirnya memberi-kan paparan berikut:

Janganlah kalian berduka cita atas rezeki yang luput dari diri kalian. Hal itu karena, jika kalian sudah tahu bahwa rezeki itu tak ada yang abadi, maka tidak layak kalian bersedih atas hilangnya rezeki itu dari tangan kalian. Ibn Mas'ud menu-turkan bahwa Nabi SAW. pernah bersabda, ”Salah seorang di antara kalian tidak akan merasakan nikmatnya iman hingga menya-dari bahwa apa saja yang menimpanya tidak mungkin keliru dan apa saja yang keliru tidak mungkin menimpanya.”

Maknanya, janganlah kalian berse-dih atas dunia yang hilang dari tangan kalian, karena itu berarti tak ditakdirkan untuk kalian. Sebab, jika memang ditak-dirkan milik kalian, tentu ia tak akan hilang dari tangan kalian.

Imam Ja'far ash-Shadiq ra. berkata, ”Wahai anak Adam, mengapa engkau berduka atas sesuatu yang tiada, semen-tara engkau tak bisa mencegahnya jika sesuatu itu hilang darimu? Mengapa pula engkau gembira atas sesuatu yang ada, sementara kematian tak akan membiarkan sesuatu itu tetap ada padamu?”

Kutipan hadits serta beberapa ko-mentar di atas pada dasarnya mengajari kita agar: Pertama, dalam urusan agama kita harus selalu melihat kepada orang yang lebih tinggi dan lebih utama dari diri kita. Dengan itu, kita akan selalu merasa diri kita kurang dalam kualitas beragama maupun dalam kuantitas amal shalih kita. Dengan itu pula, kita akan senantiasa terdorong untuk terus mengejar segala kekurangan kita dalam beragama untuk menuju 'kesempurnaan' agama kita. Kedua, dalam urusan dunia kita selalu melihat kepada orang yang lebih rendah dari kita. Dengan itu, kita akan selalu banyak bersyukur atas apa yang kita miliki, tidak mudah berlecil hati dan berduka atas sedikitnya harta.

Sayangnya, banyak di antara kita yang justru bersikap sebaliknya: meman-dang 'ke bawah' dalam urusan agama, tetapi melihat 'ke atas' dalam urusan dunia. Akibatnya, dalam hal kualitas beragama dan kuantitas amal-amalnya, ia merasa cukup dan tak pernah merasa kekurangan. Sebaliknya, dalam urusan dunia, ia tak pernah merasa puas atas apa yang dia miliki dan terus terobsesi untuk mengejarnya lebih banyak lagi. Tak jarang, dengan itu ia dilalaikan oleh kesibukan mencari harta untuk kehidupan dunia yang fana dan semu ini, serta lupa untuk terus memperbanyak amal shalih demi bekal untuk kehidupan akhirat yang abadi dan hakiki. Bagi orang yang seperti ini, alangkah baiknya merenungkan kata-kata seorang penyair yang dinukil Muhammad Nawawi bin Umar al-Jawi dalam kitabnya, Nashâ'ih al'-Ibâd, sebagai berikut:

Duhai yang tersibukkan dunia

panjang anganmu tlah menipumu

Duhai yang selalu terpedaya

ajalmu makin mendekat padamu

Kematian itu datang tiba-tiba

dan kuburanlah akhir dari segala

Wa mâ tawfîqî illâ billâh.

Postingan populer dari blog ini

Haji Mabrur

  Tiada imbalan bagi orang yang berhaji dengan mabrur selain surga, begitulah hadits Nabi Muhammad SAW yang sangat populer. Mabrur itu artinya baik. Kebalikan dari haji mabrur ialah haji mardud. Mardud artinya tertolak. Sebagaimana kaidah ibadah umum lainnya, baik di sini maksudnya diniati, dilaksanakan dan ditindaklanjuti sesuai dengan fitrah manusia: adil dan atau tidak dzalim, ihsan dan atau nasihah, simahah dan atau zakah. Tiga prinsip yang diperintahkan Allah ini hampir selalu dibacakan setiap akhir khotbah Jum’at. Di sisi lain, di dunia pesantren dikenal luas kaidah bahwa setiap ibadah tak terkecuali haji selalu membutuhkan ilmu dan amal sebelum, ketika dan sesudahnya.   Mengenai adil dan atau tidak dzalim, secara global diartikan dengan tidak merugikan/menjahati/merampas hak-hak orang lain. Hasil korupsi yang dipakai untuk biaya haji misalnya, tak mungkin menghasilkan haji mabrur. Menyakiti dengan kata-kata dan atau tindakan ketika melaksanakan ibadah haji umpamanya, me...

Antara Berjamaah dan Sendirian

  Sholat jama’ah itu lebih utama 27 derajat dibanding sholat sendiri, keutamaan sholat sunat di rumah (tidak berjamaah) dibandingkan sholat sunat di masjid sama dengan keutamaan sholat jamaah, begitu kira-kira Nabi Muhammad SAW telah bersabda. Dalam riwayat lain, sabda beliau: sholat jama’ah lebih utama 25 derajat daripada sholat sendiri. Jadi, 25 atau 27 derajat keutamaannya sesuai dengan kesungguh-sungguhannya, dan hanya Allah sajalah yang berhak menentukan.   Sebagaimana dicontohkan Nabi SAW dan dijelaskan para ulama dalam berbagai kitab (lebih-lebih kitab kuning), keutamaan sholat berjamaah itu berlaku untuk sholat wajib (sholat fardlu 5 waktu), ketika tidak sedang bepergian jauh. Bila sedang jadi musafir (bepergian jauh) sebagian ulama mengatakan, sholat wajib tidak harus berjamaah. Sepanjang hidup, Nabi SAW selalu berjamaah ketika sholat wajib. Adapun dalam sholat sunat, secara umum justru derajat (pahalanya) lebih tinggi kalau dilakukan sendiri (tanpa berjama’ah). Belia...

Biografi KH Bishri Syansuri (1886-1980 M)

(Sumber foto: nu.or.id) Seorang mukmin sejati pasti percaya bahwa ada yang mengatur perjalanan hidup manusia, yaitu Dzat Yang Maha Berkehendak. Walaupun dalam batas-batas tertentu Dzat Yang Maha Agung itu juga memberikan kewenangan kepada manusia untuk menentukan jalan hidupnya sendiri. Begitupun, Bishri Syansuri kecil tentu tidak akan pernah menyangka jika pada akhirnya akan menjadi “orang“ di Denanyar Jombang, bahkan sampai menjadi Rais ‘Aam PBNU menggantikan kakak iparnya (KH Abdul Wahab Hasbullah) yang harus terlebih dahulu menghadap Allah SWT. Beliau berkakak ipar dengan KH Abdul Wahab Hasbullah, Kiai Bisri juga berbesan dengan KH Hasyim Asy’ari, gurunya. KH Wahid Hasyim putra KH Hasyim Asy’ari, menikah dengan Hj. Solichah putri beliau dan dari merekalah lahir KH Abdurrahman Wahid, alias Gus Dur, yang kelak akan menjadi Presiden. Lahir Bishri Syansuri dilahirkan di Desa Tayu, Kabupaten Pati, Propinsi Jawa Tengah, tanggal 28 Dzulhijjah 1304 H / 18 September 1886. Ayah...