Mengenal para alim ulama bisa melalui dengan membaca kisah hidup mereka. Tulisan singkat berikut ini menceritakan biografi KH. Ahmad Syakir Ma'shum. Selamat membaca.
Ahmad Syakir merupakan anak ketiga dari perkawinan Mbah Ma’shum Lasem (w. 1972) dengan Nyai Nuriyah binti KH. Zainuddin bin KH. Ibrahim bin KH. Abdul Latif bin Mbah Joyotirto bin Mbah Abdul Halim bin Mbah Sambu. Ibu Nyai Nuriyah bernama Nyai Mashfuriyah bin KH. Abdul Aziz bin KH. Abdul Latif bin Mbah Joyotirto bin Mbah Abdul Halim bin Mbah Sambu (Thomafi, 2007:58-59).
Ahmad Syakir lahir pada tahun 1920 (1338 H), tanggal dan bulan kelahirannya tidak diketahui dengan pasti. Pendidikan awal Ahmad Syakir diperoleh dari keluarga, dia mendapat pendidikan agama dari ayahandanya sendiri yang merupakan ulama karismatis, yaitu Mbah Ma’shum. Ahmad Syakir tidak pernah mengenyam pendidikan formal, karena memang pada waktu itu masih dalam kondisi penjajahan kolonial Belanda. Meskipun demikian, Mbah Ma’shum sangat menekankan arti pentingnya pendidikan kepada putra-putranya. Ahmad Syakir muda di kirimnya ke beberapa pondok pesantren terkenal di Jawa, seperti ke pondok pesantren yang diasuh oleh Kyai Kholil Kasingan Rembang (mertua KH. Bisri Mustofa), pondok Pesantren Tebu Ireng Jombang Jawa Timur, pondok pesantren Buntet Astanajopura Cirebon yang diasuh oleh Kyai Abbas, pondok pesantren Termas yang diasuh Kyai Dimyati, dan pondok pesantren Watucongol Magelang yang diasuh KH. Dalhar.
Menurut KH. Muhammad Zaim (46 th) perjalanan KH. Ahmad Syakir menuntut ilmu sering bersamaan dengan kakaknya yang pertama, yaitu Kyai Ali Ma’shum (pengasuh Ponpes Al Munawir Krapyak Yogyakarta). Bahkan ketika mondok di Termas, beliau selain bersama kakaknya, juga bersamaan dengan KH. Abdul Hamid Pasuruan dan Kyai Makmur Dimyati Lasem (pengasuh ponpes As Salatiyah Rembang).
Ahmad Syakir muda mengikuti jejak ayahandanya, melanglang ke berbagai daerah untuk menuntut ilmu agama. Setelah dirasa cukup matang dalam keilmuan, maka Ahmad Syakir disuruh oleh orang tuanya untuk kembali ke Lasem. Dipersiapkan oleh Mbah Ma’shum untuk meneruskan pondok pesantren yang diasuhnya. Hal ini dilakukan oleh Mbah Ma’shum karena putra tertuanya, Ali Ma’shum, diambil menantu oleh Kyai Munawir Krapyak Yogyakarta. Pondok Pesantren Al Munawir inilah yang kemudian membawa nama besar Ali Ma’shum.
Upaya pengkaderan Mbah Ma’shum nampaknya membuahkan hasil. Kematangan ilmu agama Achmad Syakir yang diperoleh dari berbagai pondok pesantren mulai nampak, dia mulai membantu ayahandanya mengajar para santri. Selain itu juga ikut berdagang ayahnya di pasar. Pendidikan yang diberikan Mbah Ma’shum kepada Achmad Syakir ini benar-benar merupakan tempaan yang kuat, agar kelak dia mampu melanjutkan perjuangan ayahandanya ketika sudah dewasa.
Memasuki usia dewasa, sekitar usia 24 tahun Ahmad Syakir menikah dengan Nyai Faizah binti Ahmad Mustofa dari Tegalsari Solo, pada tahun 1944. Pernikahan tersebut berawal dari kedekatan hubungan KH. Ma’shum dengan KH. Ahmad Umar bin Abdul Mannan Pesantren Al Muayyad Solo. Nyai Faizah ini seorang hafiḍah (penghafal al Qur’an) terbaik di Lasem, yang melanjutkan perjuangan KH. Ma’shum dengan mengasuh pondok pesantren al Hidayat spesialis tahfiḍul Qur’an (Luthfi Thomafi, 2007:65).
Pernikahan KH. Ahmad Syakir dengan Nyai Faizah ini melahirkan ulama-ulama besar pengasuh pondok pesantren di Lasem juga. Adapun buah pernikahan KH. Ahmad Syakir dengan Nyai Faizah ini adalah :
1. Mustofa yang lahir pada tahun 1948, sekarang mukim di Pasuruan.
2. Faizin yang lahir pada tahun 1951 dan wafat pada tahun 1974.
3. Nur Jihan (lahir pada tahun 1955) yang diperistri oleh KH. Muafi pengasuh pondok pesantren Nazhatut Thulab Krajan Camplong Sampang Madura.
4. Nur Inayah (lahir tahun 1957) yang diperistri oleh KH. Hasan Fauzi pengasuh pondok pesantren As Syakiriyah Soditan Lasem.
5. Sihabudin yang lahir pada tahun 1960, yang sekarang mengasuh pondok pesantren An Nuriyah Soditan Lasem.
6. Muhammad Nasih (meninggal pada waktu masih kecil). Kondisi kelahiran Muhammad Nasih ini penuh dengan keanehan, tidak seperti bayi pada umumnya. Dia lahir dalam kondisi seperti orang dewasa, rambut sudah lebat, penuh dengan jamban dan jenggot. Keanehan inilah yang membuat Nasih tidak berumur panjang, karena biasanya hal-hal yang aneh itu tidak akan bertahan lama (canda KH. Muhammad Zaim).
7. Muhammad Zaim yang lahir pada tanggal 1 Agustus 1965, satu-satunya putra KH. Ahmad Syakir yang diketahui tanggal, bulan, dan tahun kelahirannya. Menurut penuturan KH. Muhammad Zaim sendiri, tanggal dan bulan kelahirannya itu berdasarkan almari pakaian yang dibeli oleh abahnya, KH. Ahmad Syakir. “Di belakang almari tersebut tertuliskan tanggal 31 Juli 1965, dan kata abah, saya itu lahir satu hari setelah pembelian almari tersebut. Dengan demikian saya lahir pada tanggal 1 Agustus 1965”.
KH.Ahmad syakir menjadi penerus perjuangan KH. Ma’shum di Lasem, mengasuh santri-santri di pondok pesantren Al Hidayat yang telah dirintis sejak tahun 1916 oleh ayahnya tersebut. Dalam mengasuh para santri KH. Ahmad Syakir dibantu oleh ibundanya, Nyai Nuriyah yang mengajar tahfiḍul Qur’an. Pondok Pesantren al Hidayat ini diasuh oleh KH. Ahmad syakir sampai akhir hayatnya, yaitu pada tanggal 31 Januari 1991.
Setelah KH. Ahmad Syakir wafat, maka saat itu juga tanggung jawab pondok pesantren Al Hidayat diasuh oleh Muhammad Zaim, putra bungsunya. Semenjak diasuh oleh Muhammad Zaim inilah nama pondok pesantren Al Hidayat mengalami beberapa perubahan dan kemajuan. Namun Muhammad Zaim ini tidak bertahan lama mengasuh pondok warisan kakek dan ayahnya ini, dia berusaha mendirikan pondok pesantren sendiri. Maka mulai bulan Oktober 1992 pondok pesantren As Syakiriyah ini diserahkan kepada kakak sepupunya, yaitu KH. Zainuddin, sampai sekarang.
Cita-cita Muhammad Zaim untuk mendirikan pondok pesantren ini baru terwujud pada tahun 2003. Pada tanggal 27 Ramadhan 1424 H atau 21 November 2003 adalah awal berdirinya pondok pesantren, yang kemudian diberinya nama Pesantren Kauman. Pondok pesantren tersebut terletak di Desa Kauman Karangturi, yang merupakan pusat pemukiman warga Tionghoa Lasem. Setting sosio budaya masyarakat Desa Kauman Karangturi ini yang mengilhami KH. Muhammad Zaim ini untuk berjuang, menegakkan nilai-nilai Islam yang rahmatal lil ‘alamin. Mengajarkan para santrinya untuk menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi (tasamuh) dengan etnis lain. Dengan harapan para santri Pondok Pesantren Kauman kelak menjadi generasi yang berakhlakul karimah, sesuai dengan ajaran Ahlus Sunnah wal jama’ah.
Ungkapan Jawa, “anak macan pada akhirnya akan menjadi macan juga”, nampaknya sangat tepat untuk menggambarkan keberhasilan pendidikan dan ketokohan KH. Ma’shum Lasem. Doa orang tua agar diberikan anak-anak yang saleh, yang menegakkan salat dan memperjuangkan agamanya Allah SWT nampaknya tercermin dalam keberhasilan KH. Ma’shum dalam mendidik anak-anaknya. Hal ini terbukti dari generasi yang dilahirkannya, anak cucunya menjadi ulama pengasuh pondok pesantren. Demikian juga dengan KH.Ahmad syakir ini, anak ketiganya yang juga melahirkan ulama-ulama pengasuh pondok pesantren.
KH.Ahmad Syakir tidak banyak menghasilkan karya tulis. Menurut penuturan KH. Muhammad Zaim (46 th) hanya ada 3 buah karya KH. Ahmad Syakir, yaitu : Qamus Ulama Zuama, Kitab Nahwu (metode praktis memahami bahasa Arab dengan skema), dan kitab Al Ḥikmah yang terdiri dari 4 jilid. Kitab-kitab tersebut sebenarnya masih ada aslinya, yang masih berupa tulisan tangan KH. Ahmad Syakir sendiri. Namun semua sudah hilang dibawa oleh putra pertamanya, Mustofa yang berada di Pasuruan Jawa Timur. Hanya satu kitab yang masih terselamatkan, yaitu kitab al Ḥikmah, yang ditulis pada tahun 1973. Naskah tersebut sudah dibuat salinannya oleh Ahmad Yasin bin ‘Aqib salah seorang santri Lasem yang berasal dari Pasuruan. Penyalinan kitab tersebut dilakukan oleh Yasin ketika melanjutkan mondok di Yogkakarta. Naskah aslinya setelah dikembalikan kepada Mustofa, juga turut hilang entah kemana. Penyalinan kitab al Ḥikmah yang dilakukan oleh Ahmad Yasin ini selesai pada tanggal 4 Sya’ban 1404 H atau sekitar tahun 1983.
B. Kitab al Ḥikmah Karya KH. Ahmad Syakir
KH.Ahmad Syakir tidak banyak menghasilkan karya tulis. Menurut penuturan KH. Muhammad Zaim (46 th) hanya ada 3 buah karya KH. Ahmad Syakir, yaitu : (1) Qamus Ulama Zuama, berisi tentang ensiklopedi ulama dan pemimpin; (2) Kitab Nahwu, metode praktis memahami bahasa Arab dengan skema dan gambar; dan (3) Kitab Al Ḥikmah, yang berisi tentang fikih, terdiri dari 4 juz (jilid). Kitab-kitab tersebut sebenarnya masih ada aslinya, yang masih berupa tulisan tangan KH. Ahmad Syakir sendiri. Namun semua sudah hilang dibawa oleh putra pertamanya, Mustofa yang berada di Pasuruan Jawa Timur. Hanya satu kitab yang masih terselamatkan, yaitu kitab al Ḥikmah, yang ditulis pada tahun 1973. Naskah tersebut sudah dibuat salinannya oleh Ahmad Yasin bin ‘Aqib salah seorang santri Lasem yang berasal dari Pasuruan. Penyalinan kitab tersebut dilakukan oleh Yasin ketika melanjutkan mondok di Yogkakarta. Naskah aslinya setelah dikembalikan kepada Mustofa, juga turut hilang entah kemana. Penyalinan kitab al Ḥikmah yang dilakukan oleh Ahmad Yasin ini selesai pada tanggal 4 Sya’ban 1404 H atau pada tahun 1983.
Kitab al Ḥikmah fi Wiqayatil ummati ‘anil ḍulmah yang ditulis oleh Syeh Ahmad Syakir Ma’shum ini merupakan kitab fikih yang disusun berdasarkan pendapat 4 imam mazab (maẑahibul arba’ah). Kitab tersebut terdiri dari 4 juz, juz pertama membahas tentang masalah Ṭaharah, juz kedua membahas khusus tentang masalah haid, juz ketiga membahas tentang masalah salat, dan juz keempat membahas masalah zakat. Keempat kitab tersebut ditulis dengan aksara Pegon dan menggunakan bahasa Jawa Krama Madya. Pada penelitian ini yang dibahas hanya pada juz I, yaitu kitab tentang Ṭaharah.
Kitab al Ḥikmah jilid I ini terdiri dari 33 halaman, yang disambung dalam satu bendel dengan kitab al Hikmah jilid II, yang membahas masalah haid. Dengan demikian kitab tersebut antara jilid I dan II berada dalam satu bendel. Kitab al Hikmah jilid I yang membahas masalah taharah ini dibagi menjadi menjadi beberapa bab. Pembahasan dalam kitab berdasarkan pokok-pokok permasalahan, yaitu : Ṭaharah wa alatuha, al ahdaś, fawāidu muhimmat, an najasāt, faidah, al mai musta’mal, al mai mutagayir, fawāidu muhimmat min masāilul miyahi, al ma’fuwat, dan masalah-masalah yang terjadi pada zaman sekarang.
Pada mukadimah atau pembukaan kitab al Hikmah, dijelaskan tentang asal mula munculnya hukum terhadap benda atau segala sesuatu. Segala sesuatu di dunia ini pada mulanya adalah suci, kecuali jika ada ‘illat atau dalil yang menunjukkan bahwa benda tersebut adalah najis. Kemudian benda-benda tersebut dibedakan menjadi 3 macam, yaitu : (1) Hayawanat, yaitu segala sesuatu yang memiliki nyawa atau yang hidup; (2) Faḍalat, yaitu kotoran yang keluar dari dalam tubuh makhluk hidup; dan (3) Jumadat, yaitu segala sesuatu yang tidak bernyawa dan yang bukan merupakan bagian atau sesuatu yang keluar dari makhluk hidup. Pembukaan dalam kitab ini merupakan pokok bahasan umum dalam kitab-kitab fikih klasik, sebelum masuk pada materi tentang hukum suatu benda. Namun ada hal-hal yang menunjukkan perbedaan dengan kitab-kitab fikih klasik, yaitu : (1) aksara dan bahasa yang digunakan. Dengan menggunakan aksara Pegon dan bahasa Jawa Krama Madya menunjukkan nilai lokalitas ulama Jawa dalam mendakwahkan ajaran Islam sesuai dengan masyarakat yang dihadapinya; (2) kitab tersebut disusun berdasarkan permintaan umat, masyarakat sekitar (Lasem-Rembang) yang masih tergolong awam tentang hukum Islam, khususnya masalah taharah (bersuci). Oleh sebab itu, dalam kitab tersebut contoh-contoh yang diberikan adalah masalah sehari-hari yang dihadapi masyarakat Lasem dan sekitarnya. Seperti masalah najis atau alat-alat bersucinya, dengan menggunakan contoh: petis, minyak tanah, kotoran cecak, bambu, ragi, ukuran air dengan menggunakan Kilogram, Liter atau Kati (Jawa).
Tidak hanya aksara, bahasa, dan istilah-istilah lokal (Jawa) yang digunakan oleh KH. Ahmad Syakir dalam kitab al Hikmah, tetapi terdapat juga permasalahan kontemporer yang sudah dibahas dalam kitab tersebut. Diantara permasalahan kontemporer yang dibahas dalam kitab al Hikmah yaitu: masalah tahi lalat buatan, menggunakan rambut palsu, transfusi darah, alkohol, bank susu, dan donor mata.
Nuansa lokalitas dan kontemporer kitab al Hikmah ini yang menjadi fokus pembahasan dalam penelitian ini. Hal ini dianggap penting karena menunjukkan sikap arif seorang ulama Jawa yang peduli terhadap masyarakatnya dalam menghadapi perkembangan zaman. Permasalahan-permasalahan modern yang belum ditemukan atau dibahas dalam kitab-kitab fikih klasik disajikan dalam kitab al Hikmah ini.
Kisah para ulama:
Biografi dari KH Dimyathi Syafi'ie Banyuwangi